HUMAN TRAFICKING; SIAPA YANG SALAH
HUMAN
TRAFICKING; SIAPA YANG SALAH?
(Sebuah Refleksi di Balik Maraknya Perdagangan
Manusia di NTT)
Oleh :
Oceph Namang
*Alumnus
STFK Ledalero, Tinggal di Lewoleba
NTT :
Darurat Human trafficking
Perdagangan
manusia (Human trafficking) menjadi
salah satu isu hangat dalam tataran nasional dan local dalam beberapa waktu
belakangan. Dalam tataran Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) isu ini menjadi
lebih hangat lagi dengan kematian-kematian para tenaga kerja asal wilayah NTT
di daerah perantauan. Hal ini didisnyalir sebagai akibat dari perdagangan
manusia yang lagi marak di wilayah NTT dalam beberapa waktu terakhir. Di mana
sudah begitu sering pihak-pihak berwajib menggagalkan usaha orang-orang tidak
bertanggung jawab yang ingin mengirim tenaga kerja ke luar negeri tanpa
tanggung jawab. Mencermati maraknya perekrutan tenaga kerja secara illegal
untuk dipekerjakan di luar negeri ini, maka sebagian elemen masyarakat kemudian
melabeli NTT sebagai propinsi darurat perdagangan manusia.
NTT
darurat perdagangan manusia(human
trafficking), begitulah headline
beberapa media cetak dan online dalam beberapa waktu terakhir. Keprihatinan
sebagian besar kalangan masyarakat NTT bahkan Indonesia ini bukan tanpa alasan
melainkan lahir dari suatu kenyataan yang terjadi di mana ada beberapa Tenaga
Kerja Wanita (TKW) asal NTT yang kembali ke kampung halamannya dalam keaadaan
tak bernyawa. Bahkan lebih tragis dan memiluhkan lagi kembali dengan tidak
bernyawa dan organ tubuh pun sudah tidak lengkap lagi.
Dalam
kunjungan ke Provinsi NTT dalam selang waktu setahun yang lalu sang nakhoda
Indonesia Presiden Ir. Joko Widodo “melabeli/mendaulat” NTT sebagai provinsi
darurat human trafficking.
Pendaulatan ini bukanlah tanpa alasan melainkan bertolak dari realita, di mana
ada begitu banyak peristiwa yang menimpah para pencari kerja asal NTT di luar
negeri. Tahun ini, ketika kembali lagi menginjakkan kakinya di Provinsi NTT,
keluhan dan teriakan penolakan terhadap human
trafficking masih terus mengiang di telinga sang Presiden. Bahkan ketika
tiba ia disambut dengan demonstrasi dari aktivis PMKRI NTT dengan seruan utama
Menolak Human trafficking dan
menuntut segera adanya tindakan tegas dalam mengatasi masalah ini. Sang nakhda
Indonesia pun kemudian memberikan Ultimatum agar pemimpin teringgi lembaga
kepolisian (Kapolri, red) segera mengintervensi penuntasan persoalan human trafficking di NTT. Human trafficking di NTT sudah menjadi
suatu masalah luar biasa di Provinsi NTT sehingga membutuhkan campur tangan
semua puhak untuk segera mengatasi masalah ini.
Kisah
tragis ini sudah terjadi bertahun-tahun. Masih ingatkah kita akan tragedi naas yang menimpa Nirmala
Bonat, wanita malang asal Kabupaten TTS (Timor Tengah Selatan) yang mengadu
nasib sebagai pembantu rumah tangga di negeri Jiran beberapa tahun lalu? Kisah
tragis ini sepertinya tidak berujung, dari waktu ke waktu. Karena dalam
beberapa waktu terakhir NTT kembali dirundung berita yang sama bahkan menjadi semakin marak. Dimulai dengan
peristiwa yang dialami oleh Wilfrida Soik, kemudian Dolfina Abuk, dan yang
terakhir dialami oleh Yufrinda Selan serta beberapa tenaga kerja lainnya. Tingkat
kematian TKW/TKI yang begitu tinggi mau menunjukkan bahwa wilayah NTT masih
rawan perdagangan manusia. Ada segelintir orang yang tengah bergerilia mencari
orang-orang yang dianggap mampu untuk ditipu daya dan selanjutnya didagangkan
demi uang. Lantas di manakah rasa kemanusiaan kita? Sudah tumpulkah nurani kita
sehingga rela menjual sesama demi uang? Pertanyaan-pertanyaan ini menggugah
perasaan dan simpati semua elemen masyarakat untuk berefleksi.
Lantas,
pada titik ini kita patut bertanya, siapa yang salah dibalik semua kasus tragis
ini? Apakah tenaga kerja, pemerintah, para calo, atau masyarakat umumnya?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan reflektif ini, kita semua patut bermenung dan
berbenah diri, bahwa ini salah kita semua, bukan salah satu pihak-pihak
tertentu. Karena itu, dibutuhkan sebuah langkah berani untuk menuntaskan kasus
ini. Ketika satu pihak menjadi pasif terhadap persoalan fundamental ini, pihak
yang lain perlu aktif agar bisa meminimalisir bahkan menghilangkan kasus ini
dari Nusa NTT tercinta ini. Peran serta semua pihak sangatlah urgen untuk
membantu menuntaskan persoalan fundamental ini.
Jika
mencermati secara teliti kasus-kasus ini, bisa ditarik sebuah kesimpulan
sementara bahwa kasus human trafficking
bisa terjadi sedemikian maraknya karena karena lemahnya koordinasi dari semua
elemen masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya. Misalnya, kasus ini bisa
terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sehingga membuat
masyarakat muda ditipu daya oleh para calo. Selain itu, perilaku pihak-pihak
tertentu (Calo, red) yang bergerilia di wilayah-wilayah perkampungan untuk
berusaha meyakinkan masyarakat untuk direkrut menjadi tenaga kerja dengan
iming-iming pendapatan yang menggiurkan, yang kemudian mendrong masyarakat yang
dengan tingkat pendapatan yang rendah dan pas-pasan menjadi tergiur dan setuju
untuk direkrut. Dalam benak para calo, terpatri rapi konsep relasi subjek-objek,
sehingga mendorong mereka untuk menjadikan sesama sebagai objek/komoditi untuk
diperdagangkan demi memperoleh pendapatan yang layak dan memuaskan. Di sisi
lain, sistem pengawasan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait juga tidak
berjalan sebagai mana mestinya sehingga membuat para calo begitu leluasa bergeliria
untuk merekrut tenaga kerja di tengah masyarakat. Oleh karena itu, jika
menginginkan semua masalah ini bisa tuntas, maka semua pihak yang berwewenang
dan semua elemen masyarakat perlu bersinergi dan seiya sekata mengatakan tidak
pada human trafficking.
Relasi
Intersubjektif (Subjek-Subjek) : Alternatif Meminimalisir Human trafficking
Mencermati
berbagai kasus human trafficking yang
tengah terjadi dalam masyarakat dewasa ini, dapat dikatakan bahwa semuanya
berawal dari konsep relasi Subjek-Objek yang dihidupi oleh sebagian besar
masyarakat. Ketika kita mengedepankan relasi subjek-objek, maka ada
kecenderungan yang lebih besar bagi kita untuk memandang sesama sebagai objek
yang dapat diperlakukan semau kita. Bahkan sesama bisa dikorbankan hanya demi
tujuan tertentu yang ingin kita capai. Dalam model relasi Subjek-bjek, pihak
yang satu cenderung mengobjekkan pihak
yang lain. Dalam kasus tersebut di atas, para calo memandang sesamanya sebagai
objek yang dapat diperdangangkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Selain itu, para majikan juga memandang pembantunya lebih sebagai objek yang
dapat diperlakukan seturut keinginan
pribadi.
Bertolak
dari model relasi subjek-objek seperti dalam kasus di atas Gabriel Marcel
mencoba menawarkan satu model relasi yang lebih positif yakni model relasi
subjek-subjek. Model relasi yang demikian, oleh Marcel disebut sebagai relasi
intersubjektif. Marcel mengatakan demikian karena baginya, ada selalu berarti
ada bersama dengan orang lain di mana dalam keberadaan itu pihak yang satu
memandang pihak yang lain sebagai subjek
bukan sebagai objek belaka. Dengan model relasi subjek-subjek seperti ini maka
akan tercipta kesejahteraan, ketenteraman,
dan keselarasan dalam kebersamaan dengan orang lain.
Selain
itu, konsep relasi intersubjektif merupakan moment penuh rahmat di tengah
kebiadaban penindasan yang bergolak di masa Perang Dunia I, waktu Gabriel
Marcel meniti hidupnya. Apa dasar legitimasi semua kebiadaban penindasan
tersebut?
Marcel
yang bergelut dengan semua pengalaman tersebut, membuka kedok kebiadaban itu
dalam pemahamannya tentang relasi yang intersubjektif yakni relasi
subjek-subjek yang merupakan revolusi
terbesar bagi sistem relasi subjek-objek yang melanda dunianya saat itu. Konsep
ini juga sangat relevan dengan situasi kita yang rawan/ darurat perdagangan
manusia.
Pola relasi aku-engkau
(Subjek-Objek) antara subjek menegasikan kekerasan dalam kehidupan bersama
antara manusia, baik kekerasan dalam rumah tangga, masyarakat dan negara.
Relasi aku-engkau yang merupakan
pengungkapan saripati dari refleksi misteri atas keberadaan manusia menjunjung
tinggi martabat manusia sekaligus meruntuhkan pengklasifikasian sosial atas
dasar kekuasaan entah kekuasaan ekonomi, politik dan kebudayaan. Alasannya
bahwa ketika saya mengagumi keberadaan
orang lain dan mengalaminya sebagai kehadiran (presence) dalam hidup saya, maka
saya tidak mempunyai hak atau kuasa apapun untuk memaksanya. Kekuasaan atau
otoritas seseorang atas orang lain selalu lahir dari suatu model relasi fungsional,
misalnya relasi fungsional antara atasan dan bawahan dalam satu organisasi
kerja.
Realitas
kehidupan manusia saat ini menampilkan sebuah misteri manusia yang
tercabik-cabik dalam sebuah kejahatan dramatis dengan kedok ketakutan akan
kehilangan kuasa. Seperti perjuangan kaum fundamentalisme agama atau teroris.
Kejahatan atas kemanusiaan membahasakan kematian pola relasi aku-engkau di antara subjek atau
manusia. Sebaliknya dalam pola relasi fungsional kekerasan dan kejahatan
terhadap sesama manusia menjadi mungkin apabila salah satu pihak (subjek) dari
sistem jalinan fungsi itu bertindak sesuka hati atau berlaku otoriter terhadap
yang lain (objek). Seperti kasus human
trafficking yang kian menjamur dari waktu ke waktu di NTT.
Korupsi
yang merupakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara massal oleh pejabat
di negeri ini adalah salah satu indikasi ketiadaan relasi aku-engkau di antara subjek atau manusia. Bahwasannya, para
koruptor tidak pernah mengalami rasa kagum dan terbuka dan mengalami sesama
(rakyat) sebagai misteri yang harus didekati dengan keterbukaan dan partisipasi
di dalamnya. Korupsi hanya bisa dipahami dalam suatu relasi fungsional, di mana
setiap individu menjadikan sesamanya sebagai objek analisis selanjutnya
dikuasai untuk mendatangkan keuntungan.
Realitas kejahatan kemanusiaan seperti
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), human trafficking, korupsi, aksi suap-menyuap, dan lain-lain
mengindikasikan terhambatnya pola relasi aku-engkau
di antara manusia atau subjek. Realitas kejahatan ini mengungkapkan pola relasi
fungsional yang mengedepankan profit
dari fungsi yang dijalankan oleh seseorang. Bila daya produk seseorang rendah, maka kerberadaannya
dari tengah masyarakat diabaikan. Standarisasi manusia menurut daya produk atau
profit yang diperoleh dari fungsi yang dijalankan menurut Gabriel Marcel adalah
suatu bentuk pereduksian terhadap manusia.
Alternatif
Gabriel
Marcel mengemukakan dua model relasi antara manusia yaitu relasi spekulatif dan relasi partisipatif. Dalam relasi spekulasi
seseorang atau subjek berkontak dengan orang lain untuk memenuhi keinginan
subjek semata, misalnya orang yang bercakap-cakap sekedar membunuh rasa jenuh
sambil menunggu giliran pemeriksaan oleh dokter. Relasi spekulatif ini menghasilkan pola relasi subjek-objek (S-O). Dalam relasi partisipatif
subjek membuka diri terhadap subjek yang lain dan relasi keduanya menghasilkan
persekutuan. Relasi partisipatif ini menghasilkan pola relasi subjek-subjek
atau intersubjektif. Marcel mengidealkan
relasi intersubjektif dan menuduh pola relasi subjek-objek menciptakan “dunia
yang sakit”. Karena itu, kedua pola relasi ini membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan. Untuk
mencapai relasi partisipasi mesti melalui relasi spekulasi. Misalnya, sebelum
saya membuka diri terhadap sesorang saya harus yakin entahkah orang itu bisa
dipercaya atau tidak. Dengan kata lain, sebelum saya terlibat dalam relasi
partisipasi dengan orang lain saya memperlakukan orang itu sebagai objek dalam
pikiran saya.
Dalam relasi intersubjektif yang diperjuangkan oleh
Gabriel Marcel mengandaikan aku dan
engkau itu saling kenal dan pernah bertemu dan pada akhirnya saling mencintai.
Pertanyaannya adalah bagaimanakah nasib orang asing atau orang yang sulit untuk
dikenal karena ketertutupan hatinya. Apakah model relasi intersubjektif berhadapan dengan orang asing dan orang
yang tertutup hatinya ini menjadi mungkin? Seorang subjek bisa terlibat dalam relasi intersubjektif
tetapi pada saat yang sama dia bisa menjalin relasi subjek objek dengan orang
lain yang berada di luar jalinan relasi itu.
Pergelutan Marcel dengan relasi intersubjektif membawa
manfaat bagi dunia yang sering buta akan penindasan yang tidak disadari sendiri
oleh manusia dalam kehidupannya. Dengan konsep ini Marcel sebenarnya mau
menunjukkan bahwa pangkal dari semua tindakan tidak adil berawal dari konsep
manusia yang keliru tentang sesamanya. Sudahkah kita sependapat dengan Marcel
dalam hal ini? Jika semua individu
sependapat dengan Gabriel Marcel, maka dengan sendirinya human trafficking bisa diminimalisir bahkan bisa lenyap secara
perlahan dari tengah kehidupan masyarakat. Karena itu, mari kita bergandengan
tangan untuk mengatakan “TIDAK” pada human
trafficking karena sesame kita juga adalah subjek yang sama dengan diri
kita.
Tulisan ini dimuat dalam kolom OPINI Flores Pos Jumad, 2 September 2016
Komentar