BELIS DALAM BUDAYA LAMAHOLOT
BELIS
DALAM TRADISI BUDAYA LAMAHOLOT
I.
PENDAHULUAN
Perkawinan
merupakan suatu tahap tertentu dalam hidup manusia. Dalam Gerja katolik,
perkawinan menjadi suatu sakramen yang menyatukan dua insan menjadi satu. Untuk
mencapai tahap ikatan resmi dalam Gereja katolik ini, setiap pasangan harus
melalui tahap-tahap tertentu yang telah digariskan dan ditetapkan baik oleh
Gereja maupu oleh adat dan budaya setempat. Dalam tulisan ini, penulis mencoba
untuk menelisik perkawinan dalam sudut pandang budaya lamaholot. Penulis
memfokuskan perhatian pada budaya belis yang berlaku umum dalam
masyarakat yang berpayungkan budaya lamaholot.
Budaya
lamaholot meliputi masyarakat yang tinggal di Flores Timur, Adonara, Solor, dan
Lembata. Wilayah-wilayah ini bernaung di bawah suatu rumpun budaya yang diberi
nama Lamaholot. Wilayah-wilayah ini
memiliki kemiripan bahkan persamaan budaya, karena semuanya bersumber dari satu
budaya yang sama yakni budaya lamaholot. Berikut penulis mencoba menguraikan
sedikit mengenai budaya belis dalam masyarakat berbudaya lamaholot dan
relevansinya bagi masyarakat.
II.
BELIS DALAM BUDAYA LAMAHOLOT
Secara umum, dalam proses
perkawinan, setelah ada pesuntingan kedua belah pihak, dilanjutkan melalui
beberapa tahap, yaitu penukaran, pembayaran belis, dan upacara perkawinan itu
sendiri. Pada waktu meminang diperlukan petugas peminang yang disebut Wuna
(Wunang). Setelah pinangan diterima dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu Belis
(mas kawin). Hal ini merupakan hal penting dari lembaga perkawinan, karena
dianggap sebagai suatu simbol untuk menyerahkan laki dan perempuan sebagai
suami istri. Jenis-jenis Belis meliputi emas, perak, uang dan hewan. Dalam
masyarakat lamaholot, mas kawin yang diberikan berupa Gading Gajah.
![]() |
Gading Sebagai Mas Kawin |
Dalam masyarakat lamaholot,
khususnya di Adonara, pemberian mas kawin berupa gading gajah masih
dipraktikkan secara ketat. Tidak ada perkawinan tanpa gading. Batang gading itu
tidak hanya memiliki nilai adat, tetapi juga kekerabatan, harga diri perempuan,
dan nilai ekonomis yang tinggi.
Meski perkembangan ilmu dan
teknologi informasi terus merembes sampai ke pelosok-pelosok desa namun mas
kawin berupa gading gajah tidak pernah hilang dari kehidupan masyarakat.
Kehidupan masyarakat lamaholot secara keseluruhan berada dalam suasana adat
yang kuat, yang mengikat.
Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan
perkawinan antara suami-istri, atau antara keluarga perempuan dan keluarga
laki-laki, tetapi seluruh kumpulan masyarakat di suatu wilayah. Perkawinan itu
memiliki nilai sakral yang meluas, suci, dan bermartabat yang lebih sosialis.
![]() |
Mas Kawin Lamaholot (Gading) |
Gading gajah merupakan simbol
penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang gadis yang hendak dinikahi.
Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan, dan keramahan yang dimiliki
sang gadis. Kesediaan menyerahkan mas kawin gading gajah kepada keluarga wanita
pertanda membangun suasana harmonis bagi kehidupan sosial budaya setempat.
Meski di Adonara atau Flores Timur
tidak memiliki gajah, kaum pria tidak pernah gentar memenuhi pemberian mas
kawin gading gajah. Situasi ini mendorong orang untuk menghormati kaum
perempuan. Misalnya sampai tahun 1970-an, gadis Adonara tidak boleh keluar
rumah tanpa perlindungan, pengawalan, dan pengawasan pihak keluarga. Mereka
bahkan tidak bisa keluar rumah pada malam hari. Dalam masyarakat Adonara, tidak
ada perkawinan tanpa gading. Pernikahan gadis asal Adonara selalu ditandai
dengan pembicaraan mas kawin gading gajah.
Di masyarakat Lamaholot pada
umumnya dan masyarakat Adonara pada khususnya dikenal lebih kurang lima jenis
gading. Namun, jika sang pria menikahi perempuan yang masih berhubungan darah
dengannya, maka dia akan kena denda, yakni memberi tambahan dua jenis gading
sehingga totalnya menjadi tujuh jenis gading. Kelima jenis gading itu adalah; Pertama, bala bele (gading besar dan panjang) dengan panjang satu
depa orang dewasa. Kedua, bala kelikene
(setengah depa sampai pergelangan tangan), Ketiga,
kewayane (setengah depa sampai siku), Keempat,
ina umene (setengah depan sampai
batas bahu), dan Kelima, opu lake
(setengah depa, persis belah dada tengah). Dua jenis gading tambahan yang biasa
dijadikan sebagai denda ukurannya ditentukan sesuai dengan kesepakatan. Satuan
yang dipakai untuk menentukan besar atau kecil sebatang gading adalah depa
yaitu satu depa orang dewasa (rentangan tangan dari ujung jari tengah tangan
kiri ke ujung jari tengah tangan kanan).
Dalam
proses peminangan dan urusan belis/ mas kawin, dibutuhkan juru bicara. Juru
bicara keluarga biasanya memiliki keterampilan memahami bahasa adat, tata cara
pemberian, ungkapan-ungkapan adat, dan bagaimana membuka dan mengakhiri setiap
pembicaraan. Tiap-tiap juru bicara harus mengingatkan keluarga wanita atau pria
agar tidak melupakan segala hasil kesepakatan bersama.
Juru
bicara pria bersama orangtua calon pengantin pria selanjutnya mendatangi
keluarga wanita. Kedatangan pertama itu untuk menyampaikan niat sang pria
menikahi gadis pujaannya. Biasanya pasangan yang saling jatuh hati ini masih
memiliki hubungan kekerabatan, yang sering disebut anak om atau tanta.
Kedekatan
hubungan ini memang direstui dan dikehendaki adat, tetapi sering bertentangan
dengan hukum agama. Kalau ada kasus-kasus seperti itu, hal tersebut juga besar
calon pengantin pria dan keluarga besar calon pengantin wanita.
Oleh
karena itu, kedua pihak juga perlu menentukan waktu pertemuan bersama calon
pengantin masing-masing, menanyakan kebenaran dan keseriusan kedua calon
pengantin membangun rumah tangga baru. Jika ada pengakuan terbuka di hadapan
kedua pihak orangtua, pertemuan akan dilanjutkan ke tingkat keluarga besar dan
akhirnya memasuki tahap pembicaraan adat sesungguhnya, koda pake. Pada koda
pake itulah disepakati jumlah gading yang dijadikan mas kawin, besar dan
panjang gading, serta kapan gading mulai diserahkan.
Penyerahan
gading berlangsung pada tahap pai napa. Pada acara ini pihak pria menyerahkan
mas kawin berupa gading gajah disertai beberapa babi, kambing, ayam jantan, dan
minuman arak. Di sisi lain, pihak wanita menyiapkan anting, gelang dari gading,
cincin, rantai mas, serta kain sarung yang berkualitas. Selain itu,
perlengkapan dapur, mulai dari alat memasak sampai piring dan sendok makan.
Meski
tidak dipatok dalam proses pai napa, pemberian dari pihak wanita kepada
keluarga pria merupakan suatu kewajiban adat. Perlengkapan dari pihak wanita
harus benar-benar disiapkan dan nilainya harus bisa bersaing dengan nilai
gading.
Keluarga
wanita akan merasa malu dengan sendirinya jika tidak mempersiapkan perlengkapan
tersebut, atau nilai dari barang-barang itu tidak seimbang dengan nilai gading,
babi, kambing, dan ayam yang disiapkan keluarga pria. Keseimbangan pemberian
ini supaya kedua pihak dapat merayakan pesta adat di masing-masing kelompok.
Wanita
akan menjadi sasaran kemarahan dan emosi keluarga pria jika pihak keluarga
wanita tidak menyiapkan "imbalan" sama sekali. Di sinilah biasanya
awal kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi, bahkan tidak jarang berakhir
dengan perceraian.
III.
PENUTUP
Budaya belis yang berakar sangat
kuat dalam tradisi budaya Lamaholot mau menekankan akan pentingnya menghargai
kaum perempuan sebagai pribadi bermartabat. Jika dilihat secara sepintas,
budaya belis ini hampir sejalan dengan proses jual beli manusia. Akan tetapi,
maksud dari pemberian belis bukanlah demikian. Ernest Vatter dalam bukunya Ata Kiwang (1563), pernah mengemukakan
demikian, sebelum menggunakan gading, perkawinan dalam budaya lamaholot mirip
dengan membeli seorang gadis. Ungkapan Ernest Vatter ini sebenarnya mau
membenarkan dan mendukung praktek belis yang berlangsung saat ini. Praktek
belis bukanlah proses jual beli manusia melainkan mengandung nilai-nilai lain
yang lebih mendalam seperti; persahabatan, kerukunan, persaudaraan, dan
kekeluargaan. Melalui belis keluarga pria menjalin suatu ikatan dan hubungan
emosional dan membangun suatu situasi yang rukun dalam semangan persaudaraan
dan kekeluargaan dengan pihak keluarga wanita. Dengan ini setiap pribadi akan
hidup rukun dan damai satu dengan yang lainnya.
Praktek belis menyadarkan orang
untuk terus menghargai kaum perempuan sebagai pribadi yang utuh. Ketika kaum
perempuan dipermainkan begitu saja oleh kaum laki-laki, maka akan dikenakan
sangsi adat berupa belis. Praktek ini sepertinya meminimalisir terjadinya
kekerasan terhadap kaum perempuan. @@@@Ocephnamang@@@@
Komentar