KONSEP NON-VIOLENCE MAHATMA GANDHI DAN RELEVANSINYA TERHADAP PROBLEM KEKERASAN DI INDONESIA

KONSEP NON-VIOLENCE MAHATMA GANDHI
DAN
RELEVANSINYA TERHADAP PROBLEM KEKERASAN DI INDONESIA 
Oleh: Oceph Namang


BAB I             : PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG PENULISAN
Situasi dunia dewasa ini menunjukkan bahwa kekerasan menjadi senjata utama dalam memperjuangkan sesuatu atau pun sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Situasi ini serentak menghasilkan begitu banyak korban. Korban itu pada umumnya berasal dari kaum kecil dan yang tak berdaya. Situasi ini pada umumnya terjadi dalam lingkaran dunia politik. Demi suatu tujuan politik yang diidamkan, orang tidak segan-segan mengorbankan sesamanya untuk dijadikan sebagai batu loncatan demi mencapai tujuan itu. Sistem politik yang dipatenkan dalam undang-undang pun kadang mengobjekkan dan mengorbankan kalangan tertentu.
Indonesia sebagai sebuah negara pun tak luput dari praktek ini. Sebagai sebuah negara dengan sisitem politiknya sendiri, tak jarang pula terjadi berbagai kekerasan, baik itu berupa kekerasan struktural maupun kekerasan individual. Fakta menunjukan bahwa praktek politik di Indonesia dewasa ini sering bahkan selalu saja diwarnai oleh kekerasan. Ada begitu banyak praktek kekerasan yang terjadi di Indonesia. Misalnya, kasus Mbok Priok (Tragedi Koja) merupakan salah satu fakta kekerasan yang terstruktur secara rapih. Demi kepentingan segelintir orang, banyak nyawa yang harus menjadi korban. Kebrutalan mereka yang menamakan diri pengayom dan penjaga rakyat menjadi pemicu kekerasan ini. Selain itu, praktik kekerasan bukan saja berupa kekerasan berwujud seperti ini, tetapi juga terjadi dalam ide-ide dan praktik politik yang dijalankan para penguasa. Misalnya, korupsi, kolusi, nepotisme, dan beberapa kasus lainnya.
Sejarah Indonesia merekam dengan jujur kisah keterjungkalan negara pada symbol kebengisan, kekerasan, kekasaran, dan haus darah. Dalam situsai semacam ini negara mengerucut pada bentuk negara yang disebut “Negara Preman” yang dibangun di atas pidato kekerasan, logika kebrutalan, solusi patung, senjata, bom, dan penggeledahan.[1] Situasi demikian memandang kebebasan sebagai ancaman sehingga diperlakukan secara brutal. Bertolak dari pandangan yang demikian, negara menjadi lahan peternakan tukang pukul kekuasaan yang malang melintang dengan record kekerasan mengerikan. Ketika struktur politik dan kekuasaan dikuasai oleh kekerasan, Indonesia menghadirkan diri sebagai tanah kekerasan.[2] Pada titik ini, satu pertanyaan mendasar menggugah kedalaman batin kita; apakah ada cara lain yang lebih baik dan bermartabat untuk mengatasi dan menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi di Indonesia?
Bertitik tolak dari pertanyaan mendasar ini, penulis mencoba untuk menjawabnya dengan mengangkat kembali ke permukaan paham politik nir-kekerasan atau tanpa kekerasan (non violence/Ahimsa) yang dipopulerkan dan digunakan oleh Mahatma Gadhi dalam perjuangannya merebut kemerdekaan India dari bangsa penjajah. Mahatma Gandhi, tokoh sentral perjuangan kemerdekaan India memberikan teladan agung kepada kita. Perjuangannya yang dilakukannya dengan tanpa kekerasan hendaknya menjadi model perjuangan kita juga. Perjuangan tanpa kekerasan adalah jalan yang mutlak akan menciptakan perdamaian dunia.
Bertolak dari kenyataan atau fakta yang terjadi di Indonesia di mana kekerasan sering bahkan selalu menjadi senjata utama dalam mengatasi sebuah persoalan atau masalah, maka penulis merasa perlu untuk mencoba menggali nilai-nilai agung yang ada dalam politik non violence yang dipopulerkan oleh pejuang kemerdekaan India yakni Mahatma Gandhi. Penulis merasa perlu untuk mempromosikan kembali perjuangan tanpa kekerasan ini. Hal ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap situasi yang tengah terjadi dalam dunia dewasa ini di mana kekerasan selalu dibalas dengan kekerasan atau menurut kata Kitab Suci gigi ganti gigi dan mata ganti mata. Padahal di balik tindakan-tindakan ini ada cara yang lebih baik yakni dengan cara tanpa kekerasan. Dengan perlawanan tanpa kekerasan kita akan sanggup meruntuhkan dominasi kekerasan. Bertolak dari pandangan Mahatma Gandhi yang nir-kekerasan (non violence), penulis mencoba untuk mengkongretkan dan mengkonfrontasikannya dengan situasi yang sudah dan tengah berlangsung di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.  Semoga dengan tulisan sederhana ini, kita dihantar pada sebuah kesadaran yang mendalam akan pentingnya perjuangan tanpa kekerasan sebagai suatu tindakan yang luhur dan bermartabat.


1.2  TUJUAN PENULISAN
Situasi dunia dewasa ini yang selalu identik dengan kekerasan dan penindasan menuntut kita untuk mencoba menggali kembali nilai luhur yang ditanamkan oleh Mahatma Gandhi dalam perjuangannya melawan penjajahan Inggris di India. Berjuang tanpa kekerasan merupakan suatu hal yang janggal dan aneh bagi kita yang hidup zaman ini. Hal ini terjadi karena kepribadian kita pada umumnya telah dibentuk dengan tipe perjuangan dengan kekerasan. Mempertimbangkan dan memperhatikan berbagai fakta kererasan yang terjadi dewasa ini maka penulis menganggap perlu untuk mengangkat kepermukaan nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh Mahatma Gandhi dalam ajarannya tentang Ahimsa atau politik tanpa kekerasan (politik non violence).
Adapun beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui tulisan ini adalah; Pertama, penulis ingin menggali lebih dalam tentang konsep Ahimsa atau politik non violence yang dikembangkan oleh Mahatma Gandhi sebagai seorang pejuang kemerdekaan. Kedua, penggalian dan pendalaman tentang konsep non violence yang dikembangkan oleh Mahatma Gandhi ini bukan hanya terbatas pada diskursus semata, melainkan juga penulis mencoba untuk mengkonkretkan dan mengkonfrontasikannya dengan situasi hidup yang sudah dan tengah berjalan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan ini, diharapkan agar berbagai kekerasan yang sudah dan sedang terjadi di Indonesia dapat diminimalisasi. Ketiga, mengajak segenap masyarakat untuk selalu mencintai dan menghargai perdamaian dengan mempraktekan perjuangan tanpa kekerasan seperti yang ditunjukkan oleh Mahatma Gadhi sendiri. Perjuangan tanpa kekerasan memiliki keluhuran nilai moralitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan perjuangan dengan kekerasan. Keempat, sebagai sebuah persyaratan akademis sebelum memulai penulisan skripsi di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.

1.3  METODOLOGI PENULISAN
Dalam menyelesaikan penulisan karya ini, penulis menggunakan metode kepustakaan. Dengan kemampuan yang dimiliki, penulis mencoba untuk mengumpulkan data dari berbagai sumber tentang kehidupan dan konsep non violence yang dikembangkan oleh Mahatma Gandhi dalam perjuangannya menentang penjajahan Inggris demi memperoleh kemerdekaan India dan pembebasan di Afrika. Selain itu, penulis juga berusaha untuk mengkonteskan konsep non violence Mahatma Gandhi dengan praktek hidup yang sudah dan sedang berlangsung di Indonesia. Dengan itu, penulis mencoba juga untuk meramu dan memahami serta menganalisa beberapa persoalan kekerasan yang terjadi di Indonesia sambil berpatok pada konsep non violence sebagai alternatif solusi yang dianjurkan.

1.4  SISTEMATIKA PENULISAN
Tulisan ini terdiri dari empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang didalamnya memuat latar belakang penulisan, tujuan penulisan, metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab kedua menguraikan riwayat hidup yang mencakup latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan Mahatma Gandhi, dan  juga latar belakang pemikirannya. Selain itu, diuraikan juga tentang karya dan perjuangan Mahatma Gandhi baik di Afrika maupun di tanah kelahirannya (India).
Bab ketiga merupakan bab inti dari karya ini. Dalam bab ini penulis mencoba untuk membahas konsep non violence yang dikembangkan oleh Mahatma Gandhi dalam perjuangannya menentang penjajahan Inggris di India dan juga untuk pembebasan orang-orang India diaspora di Afrika Selatan. Selain itu, penulis juga membahas situasi konkret dalam hubungan dengan praktek kekerasan yang sudah dan tengah berlangsung di Indonesia. Bertolak dari kedua pembahasan ini, penulis mencoba untuk mendalami lebih jauh tentang konsep non violence yang dikembangkan oleh Mahatma Gandhi dan mengkonkretkannya dengan relevansinya dalam kehidupan di Indonesia. Di sini, penulis mencoba untuk memberikan gambaran tentang praktek kekerasan yang sudah dan tengah berlangsung di Indonesia. Penulis mencoba untuk menggali dan memahami problematika kekerasan yang ada dan dipraktekan di Indonesia. Pembahasan ini menghantar penulis pada suatu refleksi tentang konsep non violence sebagai sebuah alternatif pemecahannya.
Bab keempat merupakan penutup karya ini. Pada bagian ini penulis mencoba untuk menarik kesimpulan atas semua hal yang menjadi pokok kajian dalam karya ini.




BAB II            : SIAPA ITU MAHATMA GANDHI? 

2.1 RIWAYAT HIDUP MAHATMA GANDHI
            Mohandas Karamchand Gandhi yang kemudian lebih dikenal dengan nama Mahatma Gandhi lahir pada tanggal 2 Oktober 1869 di Porbandar[3] sebagai anak ketiga dari ibu yang berstatus sebagai istri keempat. Ayahnya  Karamachand Gandhi adalah seorang Perdana Menteri di Porbandar. Sedangkan ibunya Putlibai adalah seorang perempuan yang sangat taat dan saleh dalam menjalankan ibadah agama yang dianutnya. Dia rajin beribadat dan berpuasa.[4] Keluarga Gandhi merupakan penganut setia paham Waisnawa.[5] Dalam situasi keluarga yang sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan mencintai sesama ini Gandhi kecil bertumbuh dan berkembang menjadi seorang pribadi yang arif dan saleh. Situasi ini sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian dan pola pikirnya sebagai seorang pejuang kemerdekaan. Masyarakat India juga terkenal dengan pola hidup berdasarkan kasta-kasta. Kasta-kasta ini sangat menentukan status dan kedudukan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Ada empat kasta utama yang sangat terkenal dengan tingkatan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Keluarga Gandhi termasuk dalam golongan kasta ketiga yakni kasta Bania[6]
Situasi politik India saat kelahiran Gandhi berada dalam cengkeraman bangsa Inggris.[7] Kedatangan bangsa Inggris ke India pada awalnya dalam tujuan perdagangan. Akan tetapi, dalam perkembangannya mereka secara bertahap menaklukan India dan menjadi penguasa atas negeri India. Perjalanan roda perpolitikan India sepenuhnya dikuasai oleh Inggris. 
Perkembangan Gandhi terus berlanjut dan sesuai tradisi setempat di mana Gandhi dibesarkan, dia menikah dalam usia yang relatif muda yakni 12 tahun pada tahun1881.[8] Istrinya Kastubari adalah putri seorang saudagar yang berkasta Bania dan berusia sepadan dengannya.
Kebersamaan Gandhi dengan istri dan orang tuanya tidak berlangsung lama. Pada tahun 1985 ayahnya meninggal dunia.[9] Kematian ayahnya membuat keluarganya jatuh dalam perangkap kemiskinan. Situasi inilah yang memotivasi Gandhi untuk melanjutkan studinya. Dia kemudian berniat untuk ke London dan melanjutkan studinya dalam bidang ilmu hukum. Akan tetapi, Gandhi sendiri harus menghadapi tiga kesulitan pokok untuk mewujudkan niatnya ini. Pertama, persoalan keuangan. Keluarganya mengalami kesulitan untuk mendapatkan uang demi biaya perjalanan dan perkuliahannya. Kedua, soal agama. Menyeberang lautan dan berangkat ke luar negeri merupakan hal yang dilarang oleh hukum yang berlaku bagi kasta  Bania. Ketiga, soal keberatan ibunya. Ibunya tidak menginginkan Gandhi terjebak dalam godaan dan bahaya yang mengancam jiwa ketika Gandhi berada di luar negeri.[10] Akan tetapi persoalan-persoalan yang menjadi penghambat bagi Gandhi untuk mewujudkan niatnya ini kemudian dapat teratasi. Persoalan keuangan dapat di atasi oleh kakaknya yang dapat memperoleh keuangan sesuai yang dibutuhkan. Persoalan agama diatasi dengan kesediaan Gandhi untuk menanggung resiko dikeluarkan dari kastanya. Persoalan kekhawatiran ibunya dapat diatasi oleh Gandhi dengan mengangkat sumpah bahwa ia tidak akan menyentuh minuman keras, perempuan, dan memakan daging selama berada di luar India. Gandhi kemudian berangkat ke London untuk melanjutkan studinya.
Selama masa-masa pendidikannya di London, sebagai seorang yang selalu bergaul dengan buku ia juga membaca Alkitab secara khusus Perjanjian Baru. Gandhi juga membaca Bhagavad Gita. Dari kedua buku ini, ia kemudian melihat bahwa ada kemiripan antara keduanya.[11] Ketika membaca Alkitab, ia memberikan perhatian khusus pada khotbah Yesus di bukit (bdk. Matius 5-7). Ia merasa tertarik dengan moralitas Kristen dan hukum cinta kasih yang diajarkan oleh Yesus dalam khotbah-Nya itu. Semangat dan pola hidup yang diajarkan oleh Yesus inilah yang menarik perhatian Gandhi dan berperan penting dalam pembentukan kepribadian bahkan juga mempengaruhi ideologi yang dianutnya. Setelah menyelesaikan studinya, Gandhi kembali ke India dan perlahan-lahan memulai karirnya.



2.2  LATAR BELAKANG PEMIKIRANNYA
Secara garis besar seluruh perjalanan pemikiran Gandhi dipengaruhi oleh lingkungan masa kecilnya yakni orang tua, desa, masyarakat sekitar di mana ia tumbuh dan berkembang. Selain itu, suasana religius Hinduisme sangat mempengaruhi dan menjiwai hidupnya. Sifat-sifat seperti keras kepala, mempunyai kemauan yang kuat, keras dalam berusaha, cinta damai, jujur dan setia, merupakan warisan dari ayahnya, sedangkan sikap-sikap religius merupakan warisan ibunya.  Situasi-situasi awal inilah yang turut mempengaruhi dan menjiwai hidup Gandhi.
Satu hal yang utama dan menonjol pada diri Gandhi adalah ia lebih dikenal atau termasyur sebagai penghayat dengan semangat pencarian agama daripada sebagai tokoh reformasi sosial atau politisi. [12]  Ide, pemikiran dan tulisannya tertuang dalam berbagai bidang seperti politik, reformasi sosial, pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya. Semuanya ini tubuh dari semangat kedalaman hidup beragama yang dihayatinya. Dalam pengantar autobiografinya ia menulis:
Apa yang saya raih, dan apa yang telah saya perjuangkan untuk meraihnya selama 30 tahun ini, adalah kesadaran diri, untuk menjumpai Tuhan secara face to face, mencapai Moksha. Saya hidup dan bergerak, dan telah melewatkan hidup ini untuk mencapai tujuan itu. Semua yang saya lakukan dengan  cara berbicara dan menulis, juga seluruh aktivitas saya di bidang politik, ditujukan demi tujuan ini pula.[13]
Kutipan tulisan Gandhi dalam autobiografinya ini mau menunjukkan kepada kita akan kedalaman iman Gandhi khususnya dalam penghayatan dan pendalamannya tentang hidup keagamaan. Seluruh hidup dan pemikiran serta karyanya diarahkan untuk mencapai tujuan yang pertama dan utama yakni Tuhan sendiri.
Dalam perguliran waktu, faktor lain pun terus mempengaruhi hidupnya. Pengenalannya dengan buku ‘Bhagavad Gita dan Alkitab’ membawanya pada sebuah perubahan yang radikal dalam seluruh pola hidup. Bhagavad Gita memberinya inspirasi rohani untuk menjalani setiap detik kehidupannya. Kekaguman Gandhi terhadap tokoh Krisna dan Arjuna dalam Bhagavad Gita, menghantar Gandhi pada suatu kesadaran yang mendalam akan setiap pola tingkah laku dan spiritualitas yang dihidupinya. Alkitab juga turut memberi pengaruh yang cukup besar dalam seluruh hidup Gandhi. Teks Perjanjian Baru tentang khotbah Yesus di atas bukit (Mat. 5-7), merupakan referensi yang paling sering dikutip dan digunakan oleh Gandhi. Bagi Gandhi, warta bahagia yang disampaikan oleh Yesus itu bukan hanya ditujukan bagi orang-orang Kristen saja melainkan untuk semua orang. Dalam khotbah di bukit, Gandhi mempelajari moralitas Kristen terutama tentang kekuatan cinta kasih.[14] Isi khotbah ini tidak saja tentang tujuan luhur manusia tetapi juga cara-cara untuk mencapainya. Dalam khotbah ini, Yesus mengajarkan etika baru secara radikal, orang harus menjadi sempurna seperti Bapa di surga bukan atas dasar menaati perintah saja, melainkan karena dorongan hatinya. Konkretnya manusia harus mencintai.[15] Keharusan ini bukan karena ada perintah untuk mencintai, melainkan manusia pada hakekatnya memerlukan itu. Hukum yang diletakan Yesus bukanlah sesuatu yang berada di luar diri manusia, melainkan sesuatu yang berada dalam hati manusia, inheren dalam diri manusia.[16] Karena itu, ajaran khotbah di bukit bukan hanya untuk didengar begitu saja melainkan menuntut suatu praktek nyata dalam keseharian hidup kita.
Selain itu, dua buku lain yang juga sangat mempengaruhi Gandhi secara praktis melaksanakan Satyagraha adalah Civil Disobedience karya Henry David Thoreau dan The Kingdom of God is Within You karya Leo Tholstoy.[17] Civil Disobedience membuka mata Gandhi bagaimana Ahimsa dapat digunakan dalam menghadapi persoalan-persoalan politik. Dalam The Kingdom of God Within You, Gandhi tidak hanya mendapat dukungan yang meyakinkan atas kepercayaannya pada kebenaran dan non violence, tetapi juga mendapatkan suatu ungkapan dinamis tentang keindahan dan kebesaran penderitaan. Penderitaan tidak selalu bernilai negatif, melainkan juga mampu mengangkat manusia ke taraf yang lebih tinggi.[18] Melalui karyanya ini, Tolstoy menunjukkan kepada kita bahwa penderitaan juga memiliki kemuliaan nilai, karena mampu mengangkat manusia dan menetralisasikan kekuatan-kekuatan jahat dalam dirinya.[19] Dengan ini, manusia sanggup melihat penderitaan sebagai sebuah anugerah yang mampu mengangkatnya dari keterpurukan hidupnya. Karena itu, manusia perlu mensyukuri anugerah itu.


2.3 KARYA DAN PERJUANGANNYA
2.3.1 DI AFRIKA
            Perjuangan dan karya Gandhi di Afrika Selatan bermula dari undangan dari Dada Abdullah.[20]Tujuan undangan ini adalah membantu perusahannya untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang membelit perusahannya. Gandhi pun menerima tawaran ini dengan masa kontrak selama setahun. Gandhi meninggalkan India dan bertolak ke Afrika Selatan.
Di Afrika Selatan, Gandhi menghadapi diskriminasi yang ditujukan bagi orang-orang India. Awalnya, dia dilempar keluar sebuah kereta api di Pietermaritzburg, setelah menolak pindah dari gerbong kelas satu ke kelas tiga walaupun memegang sebuah tiket kelas satu yang masih berlaku. Kesulitan demi kesulitan terus menghampirinya, termasuk di tolak dari banyak hotel karena ia merupakan golongan orang kulit berwarna yang pada umumnya berprofesi sebagai kuli atau budak. Insiden ini telah diakui sebagai titik balik kehidupannya. Ia kemudian mulai memberikan kesaksian dan berusaha untuk melawan dan membongkar berbagai tindakan rasis, prasangka buruk dan praktek ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang India di Afrika Selatan. Ia mulai mempertanyakan status dan kedudukan masyarakat India di Afrika Selatan dalam kehidupan bermasyarakat. 
             Pengalaman-pengalaman diskriminatif yang dialami oleh Gandhi dalam usahanya memperjuangkan nasib orang-orang India diaspora merupakan titik balik hidupnya. Kepedihan pengalaman-pengalaman ini menghantarnya pada suatu kesadaran dan tekad untuk memperjuangkan persamaan hak dan melawan praktek diskriminasi berdasarkan warna kulit. Dari pengalaman inilah Gandhi memulai misi politiknya. 
            Berbagai pengalaman menyedihkan yang dialami oleh Gandhi merupakan gambaran realitas yang dialami oleh kaum buruh dan pedagang berkebangsaan India di Afrika Selatan. Karena itu, realitas yang dialami Gandhi ini bukanlah suatu hal yang baru. Di kota Pretoria, Gandhi mulai mempelajari perkara hukum yang menimpa Dada Abdullah yang merupakan misi utama kedatangannya ke Afrika Selatan.[21] Pihak-pihak yang bersengketa akhirnya memperoleh kepuasan lantaran pendekatan dan keputusan yang diambil dalam penyelesaiaan kasus ini sangat seimbang dan tidak mendiskriminasikan salah satu pihak.
Mentalitas dan perlakuan orang-orang Eropa terhadap orang-orang India merupakan salah satu praktek diskriminasi paling kasar yang terjadi di Afrika Selatan.[22] Orang-orang India apa pun kedudukan dan profesinya tetap dipandang sebagai kuli. Selama 25 tahun keberadaannya di Afrika Selatan, Gandhi selalu mengadakan perlawanan politik. Dalam menjalankan misinya  di Afrika Selatan, ada dua tugas utama yang menantinya. Pertama, menyadarkan orang Eropa bahwa sikap mereka terhadap orang-orang India sangatlah tidak sesuai bagi orang yang beradab. Kedua, mengangkat orang-orang India agar keluar dari kelaemahan diri dan mentalitas yang mudah menyerah.[23]
            Kurun waktu setahun keberadaanya di Pretoria, Afrika Selatan, bagi Gandhi merupakan pengalaman yang sangat berharga sepanjang hidupnya. Ia sendiri pernah menulis dalam otobiagrafinya demikian:
“ Di tempat ini saya memperoleh banyak kesempatan untuk bekerja demi kepentingan umum dan memngukur kapasitas saya untuk itu. Di sini pulalah saya merasakan semangat keagamaan dalam diri saya menjadi suatu kekuatan hidup serta juga memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang praktek hukum”[24].

2.3.2 DI TANAH KELAHIRANNYA (INDIA)
Setelah perjalanan misi Gandhi di Afrika Selatan berakhir dan ia pun kembali ke tanah kelahirannya yakni India. Di tanah kelahirannya, ia perlahan-lahan mulai berusaha membangun suatu paham yang lebih mendalam tentang tanah kelahirannya. Gandhi berusaha untuk mengunjungi daerah-daerah pelosok untuk bersentuhan secara langsung dengan semua masyarakat sembari mendengar dan mengetahui secara langsung seluruh problematika yang melilit kehidupan mereka. Untuk mewujudkan misinya yakni memperjuangkan persamaan hak semua warga India tanpa mengenal perbedaan kasta, Gandhi mendirikan  Ashram[25]. Setiap orang yang bergabung dalam Ashram diharuskan untuk mengikuti sumpah bahwa mereka hanya akan mengatakan kebenaran, berpegang pada prinsip nir-kekerasan (non violence), menjalani kehidupan selibat, mengendalikan selera makan, tidak mencuri, tidak mempunyai hak milik, tidak takut, dan siap menerima dan memperlakukan kaum tak berkasta (kaum pariah) setara dengan dirinya. Tujuan utama dari Ashram adalah belajar tentang bagaimana berbakti dan mengabdikan seluruh hidup kepada tanah air.[26]
Perjuangan demi perjuangan terus dikumandangkan oleh Gandhi demi memperjuangkan harkat dan martabat kaum-kaum kecil dan pinggiran yang terus dieksploitasi oleh kaum yang berkuasa. Setiap perjuangan pun terus menggapai keberhasilan dan kesuksesan karena mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Perjuangan-perjuangan Gandhi berpuncak pada perjuangannya yang non-kooperasi (non-cooperative) dan nir-kekerasan (non violence) melawan Pemerintah Inggris.





















       [1] Max Regus. Menembus Era Kemurungan; Kisah sebuah Negeri dengan Amnesia Kronis (Maumere: Ledalero, 2007), hlm. 5.
       [2] Ibid.
       [3] Porbandar adalah sebuah kota kecil di wilayah Gujarat,India Barat.
       [4] Francis Alappatt, Mahatma Gandhi : Prinsip Hidup, Pemikiran Politik dan Konsep Ekonomi (Bandung: Nusa Media, 2005), hlm.3.
       [5] Paham waisnawa merupakan salah satu praktek umat beragama Hindu yang mengutamakan pemujaan terhadap Wisnu dan mengalami proses pencampuran dengan Jainisme. Jainisme adalah aliran agama di India yang melarang keras praktek kekerasan dan pembunuhan terhadap segala jenis makhluk hidup.
       [6] Kasta Bania adalah salah satu bagian dari Kasta Waisya yang pada umumnya adalah kelompok petani dan pedagang.
       [7] Francis Alappatt, Op.Cit., hlm. 4.
       [8] Ibid.
        [9] Ibid.
       [10] Ibid., hlm. 5.
       [11] R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi  (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 11.
       [12] Ibid., hlm. 29.
       [13] Gd. Bagoes Oka (penterj.), Gandhi Sebuah Otobiografi (Bali: Yayasan Bali Canti Sena, 1975), hlm. 2.
       [14] R. Wahana Wegig. Op.cit., hlm. 15.
       [15] Ibid.
       [16] Ibid.
       [17] Ibid., hlm. 15.
       [18] Ibid.
       [19] Ibid., hlm. 15-16.
       [20] Dada Abdullah adalah seorang pemilik kapal dan pedagang besar dari Natal, Afrika Selatan.
       [21] Francis Alappatt, Op.Cit., hlm. 8.
       [22] Ibid.
       [23] Ibid., hlm.10.
       [24] Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara (All Men are Brothers) (Jakarta: Obor, 1998), hlm. 18-19.
       [25] Ashram adalah komunitas laki-laki dan perempuan yang mengabdikan dirinya pada gagasan-gagasan Gandhi tentang kebenaran (truth) dan nir-kekerasan (non violence), kerajinan dan kerendahan hati.
 [26] Francis Alappatt, Op.Cit., hlm. 17. 


Catatan:
Tulisan ini diajukan sebagai persyaratan untuk penulisan Skripsi di STFK Ledalero

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELIS DALAM BUDAYA LAMAHOLOT

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA : LANDASAN PEMBENTUKAN KARAKTER

CURICULUM VITAE