KONSEP NON-VIOLENCE MAHATMA GANDHI DAN RELEVANSINYA TERHADAP PROBLEM KEKERASAN DI INDONESIA
KONSEP
NON-VIOLENCE MAHATMA GANDHI
DAN
RELEVANSINYA
TERHADAP PROBLEM KEKERASAN DI INDONESIA
Oleh: Oceph Namang
BAB
I : PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG PENULISAN
Situasi
dunia dewasa ini menunjukkan bahwa kekerasan menjadi senjata utama dalam
memperjuangkan sesuatu atau pun sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Situasi
ini serentak menghasilkan begitu banyak korban. Korban itu pada umumnya berasal
dari kaum kecil dan yang tak berdaya. Situasi ini pada umumnya terjadi dalam
lingkaran dunia politik. Demi suatu tujuan politik yang diidamkan, orang tidak
segan-segan mengorbankan sesamanya untuk dijadikan sebagai batu loncatan demi
mencapai tujuan itu. Sistem politik yang dipatenkan dalam undang-undang pun
kadang mengobjekkan dan mengorbankan kalangan tertentu.
Indonesia
sebagai sebuah negara pun tak luput dari praktek ini. Sebagai sebuah negara
dengan sisitem politiknya sendiri, tak jarang pula terjadi berbagai kekerasan,
baik itu berupa kekerasan struktural maupun kekerasan individual. Fakta
menunjukan bahwa praktek politik di Indonesia dewasa ini sering bahkan selalu
saja diwarnai oleh kekerasan. Ada begitu banyak praktek kekerasan yang terjadi
di Indonesia. Misalnya, kasus Mbok Priok (Tragedi Koja) merupakan salah satu
fakta kekerasan yang terstruktur secara rapih. Demi kepentingan segelintir
orang, banyak nyawa yang harus menjadi korban. Kebrutalan mereka yang menamakan
diri pengayom dan penjaga rakyat menjadi pemicu kekerasan ini. Selain itu,
praktik kekerasan bukan saja berupa kekerasan berwujud seperti ini, tetapi juga
terjadi dalam ide-ide dan praktik politik yang dijalankan para penguasa.
Misalnya, korupsi, kolusi, nepotisme, dan beberapa kasus lainnya.
Sejarah
Indonesia merekam dengan jujur kisah keterjungkalan negara pada symbol
kebengisan, kekerasan, kekasaran, dan haus darah. Dalam situsai semacam ini
negara mengerucut pada bentuk negara yang disebut “Negara Preman” yang dibangun di atas pidato kekerasan, logika
kebrutalan, solusi patung, senjata, bom, dan penggeledahan.[1]
Situasi demikian memandang kebebasan sebagai ancaman sehingga diperlakukan
secara brutal. Bertolak dari pandangan yang demikian, negara menjadi lahan
peternakan tukang pukul kekuasaan yang malang melintang dengan record kekerasan
mengerikan. Ketika struktur politik dan kekuasaan dikuasai oleh kekerasan,
Indonesia menghadirkan diri sebagai tanah
kekerasan.[2]
Pada titik ini, satu pertanyaan mendasar menggugah kedalaman batin kita; apakah
ada cara lain yang lebih baik dan bermartabat untuk mengatasi dan menyelesaikan
setiap persoalan yang terjadi di Indonesia?
Bertitik
tolak dari pertanyaan mendasar ini, penulis mencoba untuk menjawabnya dengan
mengangkat kembali ke permukaan paham politik nir-kekerasan atau tanpa
kekerasan (non violence/Ahimsa) yang dipopulerkan dan digunakan
oleh Mahatma Gadhi dalam perjuangannya merebut kemerdekaan India dari bangsa
penjajah. Mahatma Gandhi, tokoh sentral perjuangan kemerdekaan India memberikan
teladan agung kepada kita. Perjuangannya yang dilakukannya dengan tanpa
kekerasan hendaknya menjadi model perjuangan kita juga. Perjuangan tanpa
kekerasan adalah jalan yang mutlak akan menciptakan perdamaian dunia.
Bertolak
dari kenyataan atau fakta yang terjadi di Indonesia di mana kekerasan sering
bahkan selalu menjadi senjata utama dalam mengatasi sebuah persoalan atau
masalah, maka penulis merasa perlu untuk mencoba menggali nilai-nilai agung
yang ada dalam politik non violence
yang dipopulerkan oleh pejuang kemerdekaan India yakni Mahatma Gandhi. Penulis
merasa perlu untuk mempromosikan kembali perjuangan tanpa kekerasan ini. Hal
ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap situasi yang tengah terjadi
dalam dunia dewasa ini di mana kekerasan selalu dibalas dengan kekerasan atau
menurut kata Kitab Suci gigi ganti gigi dan mata ganti mata. Padahal di balik
tindakan-tindakan ini ada cara yang lebih baik yakni dengan cara tanpa
kekerasan. Dengan perlawanan tanpa kekerasan kita akan sanggup meruntuhkan
dominasi kekerasan. Bertolak dari pandangan Mahatma Gandhi yang nir-kekerasan (non violence), penulis mencoba untuk
mengkongretkan dan mengkonfrontasikannya dengan situasi yang sudah dan tengah
berlangsung di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Semoga dengan tulisan sederhana ini, kita
dihantar pada sebuah kesadaran yang mendalam akan pentingnya perjuangan tanpa
kekerasan sebagai suatu tindakan yang luhur dan bermartabat.
1.2
TUJUAN PENULISAN
Situasi
dunia dewasa ini yang selalu identik dengan kekerasan dan penindasan menuntut
kita untuk mencoba menggali kembali nilai luhur yang ditanamkan oleh Mahatma
Gandhi dalam perjuangannya melawan penjajahan Inggris di India. Berjuang tanpa
kekerasan merupakan suatu hal yang janggal dan aneh bagi kita yang hidup zaman
ini. Hal ini terjadi karena kepribadian kita pada umumnya telah dibentuk dengan
tipe perjuangan dengan kekerasan. Mempertimbangkan dan memperhatikan berbagai
fakta kererasan yang terjadi dewasa ini maka penulis menganggap perlu untuk
mengangkat kepermukaan nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh Mahatma
Gandhi dalam ajarannya tentang Ahimsa
atau politik tanpa kekerasan (politik non
violence).
Adapun
beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui tulisan ini adalah; Pertama, penulis ingin menggali lebih
dalam tentang konsep Ahimsa atau
politik non violence yang
dikembangkan oleh Mahatma Gandhi sebagai seorang pejuang kemerdekaan. Kedua, penggalian dan pendalaman tentang
konsep non violence yang dikembangkan
oleh Mahatma Gandhi ini bukan hanya terbatas pada diskursus semata, melainkan
juga penulis mencoba untuk mengkonkretkan dan mengkonfrontasikannya dengan
situasi hidup yang sudah dan tengah berjalan di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan ini, diharapkan agar berbagai kekerasan yang sudah dan sedang
terjadi di Indonesia dapat diminimalisasi. Ketiga,
mengajak segenap masyarakat untuk selalu mencintai dan menghargai perdamaian
dengan mempraktekan perjuangan tanpa kekerasan seperti yang ditunjukkan oleh
Mahatma Gadhi sendiri. Perjuangan tanpa kekerasan memiliki keluhuran nilai
moralitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan perjuangan dengan kekerasan. Keempat, sebagai sebuah persyaratan
akademis sebelum memulai penulisan skripsi di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik
Ledalero.
1.3
METODOLOGI PENULISAN
Dalam
menyelesaikan penulisan karya ini, penulis menggunakan metode kepustakaan.
Dengan kemampuan yang dimiliki, penulis mencoba untuk mengumpulkan data dari
berbagai sumber tentang kehidupan dan konsep non violence yang dikembangkan oleh Mahatma Gandhi dalam
perjuangannya menentang penjajahan Inggris demi memperoleh kemerdekaan India
dan pembebasan di Afrika. Selain itu, penulis juga berusaha untuk mengkonteskan
konsep non violence Mahatma Gandhi
dengan praktek hidup yang sudah dan sedang berlangsung di Indonesia. Dengan
itu, penulis mencoba juga untuk meramu dan memahami serta menganalisa beberapa
persoalan kekerasan yang terjadi di Indonesia sambil berpatok pada konsep non violence sebagai alternatif solusi
yang dianjurkan.
1.4
SISTEMATIKA PENULISAN
Tulisan
ini terdiri dari empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang didalamnya
memuat latar belakang penulisan, tujuan penulisan, metodologi penulisan, dan
sistematika penulisan.
Bab
kedua menguraikan riwayat hidup yang mencakup latar belakang keluarga, latar
belakang pendidikan Mahatma Gandhi, dan juga latar belakang pemikirannya. Selain itu,
diuraikan juga tentang karya dan perjuangan Mahatma Gandhi baik di Afrika
maupun di tanah kelahirannya (India).
Bab
ketiga merupakan bab inti dari karya ini. Dalam bab ini penulis mencoba untuk
membahas konsep non violence yang
dikembangkan oleh Mahatma Gandhi dalam perjuangannya menentang penjajahan
Inggris di India dan juga untuk pembebasan orang-orang India diaspora di Afrika
Selatan. Selain itu, penulis juga membahas situasi konkret dalam hubungan
dengan praktek kekerasan yang sudah dan tengah berlangsung di Indonesia.
Bertolak dari kedua pembahasan ini, penulis mencoba untuk mendalami lebih jauh
tentang konsep non violence yang
dikembangkan oleh Mahatma Gandhi dan mengkonkretkannya dengan relevansinya
dalam kehidupan di Indonesia. Di sini, penulis mencoba untuk memberikan
gambaran tentang praktek kekerasan yang sudah dan tengah berlangsung di
Indonesia. Penulis mencoba untuk menggali dan memahami problematika kekerasan
yang ada dan dipraktekan di Indonesia. Pembahasan ini menghantar penulis pada
suatu refleksi tentang konsep non
violence sebagai sebuah alternatif pemecahannya.
Bab
keempat merupakan penutup karya ini. Pada bagian ini penulis mencoba untuk
menarik kesimpulan atas semua hal yang menjadi pokok kajian dalam karya ini.
BAB
II : SIAPA ITU MAHATMA GANDHI?
2.1 RIWAYAT
HIDUP MAHATMA GANDHI
Mohandas
Karamchand Gandhi yang kemudian lebih dikenal dengan nama Mahatma Gandhi lahir
pada tanggal 2 Oktober 1869 di Porbandar[3]
sebagai anak ketiga dari ibu yang berstatus sebagai istri keempat. Ayahnya Karamachand Gandhi adalah seorang Perdana
Menteri di Porbandar. Sedangkan ibunya Putlibai adalah seorang perempuan yang
sangat taat dan saleh dalam menjalankan ibadah agama yang dianutnya. Dia rajin
beribadat dan berpuasa.[4]
Keluarga Gandhi merupakan penganut setia paham Waisnawa.[5]
Dalam situasi keluarga yang sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan
mencintai sesama ini Gandhi kecil bertumbuh dan berkembang menjadi seorang
pribadi yang arif dan saleh. Situasi ini sangat mempengaruhi perkembangan
kepribadian dan pola pikirnya sebagai seorang pejuang kemerdekaan. Masyarakat
India juga terkenal dengan pola hidup berdasarkan kasta-kasta. Kasta-kasta ini
sangat menentukan status dan kedudukan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.
Ada empat kasta utama yang sangat terkenal dengan tingkatan dari yang paling
tinggi sampai yang paling rendah. Keluarga Gandhi termasuk dalam golongan kasta
ketiga yakni kasta Bania[6].
Situasi
politik India saat kelahiran Gandhi berada dalam cengkeraman bangsa Inggris.[7]
Kedatangan bangsa Inggris ke India pada awalnya dalam tujuan perdagangan. Akan
tetapi, dalam perkembangannya mereka secara bertahap menaklukan India dan
menjadi penguasa atas negeri India. Perjalanan roda perpolitikan India
sepenuhnya dikuasai oleh Inggris.
Perkembangan
Gandhi terus berlanjut dan sesuai tradisi setempat di mana Gandhi dibesarkan,
dia menikah dalam usia yang relatif muda yakni 12 tahun pada tahun1881.[8]
Istrinya Kastubari adalah putri
seorang saudagar yang berkasta Bania dan berusia sepadan dengannya.
Kebersamaan
Gandhi dengan istri dan orang tuanya tidak berlangsung lama. Pada tahun 1985
ayahnya meninggal dunia.[9]
Kematian ayahnya membuat keluarganya jatuh dalam perangkap kemiskinan. Situasi
inilah yang memotivasi Gandhi untuk melanjutkan studinya. Dia kemudian berniat
untuk ke London dan melanjutkan studinya dalam bidang ilmu hukum. Akan tetapi,
Gandhi sendiri harus menghadapi tiga kesulitan pokok untuk mewujudkan niatnya
ini. Pertama, persoalan keuangan.
Keluarganya mengalami kesulitan untuk mendapatkan uang demi biaya perjalanan
dan perkuliahannya. Kedua, soal
agama. Menyeberang lautan dan berangkat ke luar negeri merupakan hal yang
dilarang oleh hukum yang berlaku bagi kasta
Bania. Ketiga, soal keberatan
ibunya. Ibunya tidak menginginkan Gandhi terjebak dalam godaan dan bahaya yang
mengancam jiwa ketika Gandhi berada di luar negeri.[10]
Akan tetapi persoalan-persoalan yang menjadi penghambat bagi Gandhi untuk
mewujudkan niatnya ini kemudian dapat teratasi. Persoalan keuangan dapat di
atasi oleh kakaknya yang dapat memperoleh keuangan sesuai yang dibutuhkan.
Persoalan agama diatasi dengan kesediaan Gandhi untuk menanggung resiko
dikeluarkan dari kastanya. Persoalan kekhawatiran ibunya dapat diatasi oleh
Gandhi dengan mengangkat sumpah bahwa ia tidak akan menyentuh minuman keras,
perempuan, dan memakan daging selama berada di luar India. Gandhi kemudian
berangkat ke London untuk melanjutkan studinya.
Selama
masa-masa pendidikannya di London, sebagai seorang yang selalu bergaul dengan
buku ia juga membaca Alkitab secara
khusus Perjanjian Baru. Gandhi juga membaca Bhagavad
Gita. Dari kedua buku ini, ia kemudian melihat bahwa ada kemiripan antara
keduanya.[11]
Ketika membaca Alkitab, ia memberikan perhatian khusus pada khotbah Yesus di
bukit (bdk. Matius 5-7). Ia merasa tertarik dengan moralitas Kristen dan hukum
cinta kasih yang diajarkan oleh Yesus dalam khotbah-Nya itu. Semangat dan pola
hidup yang diajarkan oleh Yesus inilah yang menarik perhatian Gandhi dan
berperan penting dalam pembentukan kepribadian bahkan juga mempengaruhi
ideologi yang dianutnya. Setelah menyelesaikan studinya, Gandhi kembali ke India
dan perlahan-lahan memulai karirnya.
2.2 LATAR BELAKANG PEMIKIRANNYA
Secara
garis besar seluruh perjalanan pemikiran Gandhi dipengaruhi oleh lingkungan
masa kecilnya yakni orang tua, desa, masyarakat sekitar di mana ia tumbuh dan
berkembang. Selain itu, suasana religius Hinduisme sangat mempengaruhi dan
menjiwai hidupnya. Sifat-sifat seperti keras kepala, mempunyai kemauan yang
kuat, keras dalam berusaha, cinta damai, jujur dan setia, merupakan warisan
dari ayahnya, sedangkan sikap-sikap religius merupakan warisan ibunya. Situasi-situasi awal inilah yang turut
mempengaruhi dan menjiwai hidup Gandhi.
Satu
hal yang utama dan menonjol pada diri Gandhi adalah ia lebih dikenal atau
termasyur sebagai penghayat dengan semangat pencarian agama daripada sebagai
tokoh reformasi sosial atau politisi. [12] Ide, pemikiran dan tulisannya tertuang dalam
berbagai bidang seperti politik, reformasi sosial, pendidikan, kesejahteraan,
dan sebagainya. Semuanya ini tubuh dari semangat kedalaman hidup beragama yang
dihayatinya. Dalam pengantar autobiografinya ia menulis:
Apa
yang saya raih, dan apa yang telah saya perjuangkan untuk meraihnya selama 30
tahun ini, adalah kesadaran diri, untuk menjumpai Tuhan secara face to face, mencapai Moksha. Saya hidup dan bergerak, dan
telah melewatkan hidup ini untuk mencapai tujuan itu. Semua yang saya lakukan dengan cara berbicara dan menulis, juga seluruh
aktivitas saya di bidang politik, ditujukan demi tujuan ini pula.[13]
Kutipan
tulisan Gandhi dalam autobiografinya ini mau menunjukkan kepada kita akan
kedalaman iman Gandhi khususnya dalam penghayatan dan pendalamannya tentang
hidup keagamaan. Seluruh hidup dan pemikiran serta karyanya diarahkan untuk
mencapai tujuan yang pertama dan utama yakni Tuhan sendiri.
Dalam
perguliran waktu, faktor lain pun terus mempengaruhi hidupnya. Pengenalannya
dengan buku ‘Bhagavad Gita dan Alkitab’ membawanya pada sebuah
perubahan yang radikal dalam seluruh pola hidup. Bhagavad Gita memberinya
inspirasi rohani untuk menjalani setiap detik kehidupannya. Kekaguman Gandhi
terhadap tokoh Krisna dan Arjuna dalam Bhagavad Gita, menghantar Gandhi pada
suatu kesadaran yang mendalam akan setiap pola tingkah laku dan spiritualitas
yang dihidupinya. Alkitab juga turut memberi pengaruh yang cukup besar dalam
seluruh hidup Gandhi. Teks Perjanjian Baru tentang khotbah Yesus di atas bukit (Mat.
5-7), merupakan referensi yang paling sering dikutip dan digunakan oleh Gandhi.
Bagi Gandhi, warta bahagia yang disampaikan oleh Yesus itu bukan hanya
ditujukan bagi orang-orang Kristen saja melainkan untuk semua orang. Dalam
khotbah di bukit, Gandhi mempelajari moralitas Kristen terutama tentang
kekuatan cinta kasih.[14]
Isi khotbah ini tidak saja tentang tujuan luhur manusia tetapi juga cara-cara
untuk mencapainya. Dalam khotbah ini, Yesus mengajarkan etika baru secara
radikal, orang harus menjadi sempurna seperti Bapa di surga bukan atas dasar
menaati perintah saja, melainkan karena dorongan hatinya. Konkretnya manusia
harus mencintai.[15]
Keharusan ini bukan karena ada perintah untuk mencintai, melainkan manusia pada
hakekatnya memerlukan itu. Hukum yang diletakan Yesus bukanlah sesuatu yang
berada di luar diri manusia, melainkan sesuatu yang berada dalam hati manusia,
inheren dalam diri manusia.[16]
Karena itu, ajaran khotbah di bukit bukan hanya untuk didengar begitu saja
melainkan menuntut suatu praktek nyata dalam keseharian hidup kita.
Selain
itu, dua buku lain yang juga sangat mempengaruhi Gandhi secara praktis
melaksanakan Satyagraha adalah Civil
Disobedience karya Henry David Thoreau dan The Kingdom of God is Within You karya Leo Tholstoy.[17]
Civil Disobedience membuka mata Gandhi bagaimana Ahimsa dapat digunakan dalam menghadapi persoalan-persoalan
politik. Dalam The Kingdom of God Within You, Gandhi tidak hanya mendapat
dukungan yang meyakinkan atas kepercayaannya pada kebenaran dan non violence, tetapi juga mendapatkan
suatu ungkapan dinamis tentang keindahan dan kebesaran penderitaan. Penderitaan
tidak selalu bernilai negatif, melainkan juga mampu mengangkat manusia ke taraf
yang lebih tinggi.[18]
Melalui karyanya ini, Tolstoy menunjukkan kepada kita bahwa penderitaan juga
memiliki kemuliaan nilai, karena mampu mengangkat manusia dan menetralisasikan
kekuatan-kekuatan jahat dalam dirinya.[19]
Dengan ini, manusia sanggup melihat penderitaan sebagai sebuah anugerah yang
mampu mengangkatnya dari keterpurukan hidupnya. Karena itu, manusia perlu
mensyukuri anugerah itu.
2.3 KARYA DAN
PERJUANGANNYA
2.3.1 DI AFRIKA
Perjuangan
dan karya Gandhi di Afrika Selatan bermula dari undangan dari Dada Abdullah.[20]Tujuan
undangan ini adalah membantu perusahannya untuk menyelesaikan permasalahan
hukum yang membelit perusahannya. Gandhi pun menerima tawaran ini dengan masa
kontrak selama setahun. Gandhi meninggalkan India dan bertolak ke Afrika
Selatan.
Di Afrika Selatan, Gandhi
menghadapi diskriminasi yang ditujukan bagi orang-orang India. Awalnya, dia
dilempar keluar sebuah kereta api di Pietermaritzburg, setelah menolak pindah
dari gerbong kelas satu ke kelas tiga walaupun memegang sebuah tiket kelas satu
yang masih berlaku. Kesulitan demi kesulitan terus menghampirinya, termasuk di
tolak dari banyak hotel karena ia merupakan golongan orang kulit berwarna yang
pada umumnya berprofesi sebagai kuli atau budak. Insiden ini telah diakui
sebagai titik balik kehidupannya. Ia kemudian mulai memberikan kesaksian dan
berusaha untuk melawan dan membongkar berbagai tindakan rasis, prasangka buruk
dan praktek ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang India di Afrika
Selatan. Ia mulai mempertanyakan status dan kedudukan masyarakat India di
Afrika Selatan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pengalaman-pengalaman diskriminatif yang
dialami oleh Gandhi dalam usahanya memperjuangkan nasib orang-orang India
diaspora merupakan titik balik hidupnya. Kepedihan pengalaman-pengalaman ini menghantarnya
pada suatu kesadaran dan tekad untuk memperjuangkan persamaan hak dan melawan
praktek diskriminasi berdasarkan warna kulit. Dari pengalaman inilah Gandhi
memulai misi politiknya.
Berbagai pengalaman menyedihkan yang
dialami oleh Gandhi merupakan gambaran realitas yang dialami oleh kaum buruh
dan pedagang berkebangsaan India di Afrika Selatan. Karena itu, realitas yang
dialami Gandhi ini bukanlah suatu hal yang baru. Di kota Pretoria, Gandhi mulai
mempelajari perkara hukum yang menimpa Dada Abdullah yang merupakan misi utama
kedatangannya ke Afrika Selatan.[21]
Pihak-pihak yang bersengketa akhirnya memperoleh kepuasan lantaran pendekatan
dan keputusan yang diambil dalam penyelesaiaan kasus ini sangat seimbang dan
tidak mendiskriminasikan salah satu pihak.
Mentalitas
dan perlakuan orang-orang Eropa terhadap orang-orang India merupakan salah satu
praktek diskriminasi paling kasar yang terjadi di Afrika Selatan.[22]
Orang-orang India apa pun kedudukan dan profesinya tetap dipandang sebagai
kuli. Selama 25 tahun keberadaannya di Afrika Selatan, Gandhi selalu mengadakan
perlawanan politik. Dalam menjalankan misinya
di Afrika Selatan, ada dua tugas utama yang menantinya. Pertama, menyadarkan orang Eropa bahwa
sikap mereka terhadap orang-orang India sangatlah tidak sesuai bagi orang yang
beradab. Kedua, mengangkat
orang-orang India agar keluar dari kelaemahan diri dan mentalitas yang mudah
menyerah.[23]
Kurun waktu setahun keberadaanya di
Pretoria, Afrika Selatan, bagi Gandhi merupakan pengalaman yang sangat berharga
sepanjang hidupnya. Ia sendiri pernah menulis dalam otobiagrafinya demikian:
“ Di tempat ini saya memperoleh banyak kesempatan
untuk bekerja demi kepentingan umum dan memngukur kapasitas saya untuk itu. Di
sini pulalah saya merasakan semangat keagamaan dalam diri saya menjadi suatu
kekuatan hidup serta juga memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang
praktek hukum”[24].
2.3.2 DI TANAH
KELAHIRANNYA (INDIA)
Setelah
perjalanan misi Gandhi di Afrika Selatan berakhir dan ia pun kembali ke tanah
kelahirannya yakni India. Di tanah kelahirannya, ia perlahan-lahan mulai
berusaha membangun suatu paham yang lebih mendalam tentang tanah kelahirannya.
Gandhi berusaha untuk mengunjungi daerah-daerah pelosok untuk bersentuhan
secara langsung dengan semua masyarakat sembari mendengar dan mengetahui secara
langsung seluruh problematika yang melilit kehidupan mereka. Untuk mewujudkan
misinya yakni memperjuangkan persamaan hak semua warga India tanpa mengenal
perbedaan kasta, Gandhi mendirikan Ashram[25].
Setiap orang yang bergabung dalam Ashram diharuskan untuk mengikuti sumpah
bahwa mereka hanya akan mengatakan kebenaran, berpegang pada prinsip
nir-kekerasan (non violence), menjalani
kehidupan selibat, mengendalikan selera makan, tidak mencuri, tidak mempunyai
hak milik, tidak takut, dan siap menerima dan memperlakukan kaum tak berkasta
(kaum pariah) setara dengan dirinya. Tujuan utama dari Ashram adalah belajar tentang bagaimana berbakti dan mengabdikan
seluruh hidup kepada tanah air.[26]
Perjuangan
demi perjuangan terus dikumandangkan oleh Gandhi demi memperjuangkan harkat dan
martabat kaum-kaum kecil dan pinggiran yang terus dieksploitasi oleh kaum yang
berkuasa. Setiap perjuangan pun terus menggapai keberhasilan dan kesuksesan
karena mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Perjuangan-perjuangan Gandhi
berpuncak pada perjuangannya yang non-kooperasi (non-cooperative) dan
nir-kekerasan (non violence) melawan
Pemerintah Inggris.
[26]
Francis Alappatt, Op.Cit., hlm. 17.
Catatan:
Tulisan ini diajukan sebagai persyaratan untuk penulisan Skripsi di STFK Ledalero
Komentar