ETIKA UTILITARISME JOHN STUART MILL DAN RELEVANSINYA BAGI PENGEMBANGAN HAM DI INDONESIA


ETIKA UTILITARISME JOHN STUART MILL DAN RELEVANSINYA BAGI PENGEMBANGAN HAM DI INDONESIA
(SEBUAH TINJAUAN KRITIS)

I.                   PENDAHULUAN
Problem HAM merupakan sebuah isu aktual yang menjadi buah bibir masyarakat bukan hanya di Indonesia melainkan hampir di seluruh belahan dunia ini. Mengapa isu ini cukup menyita dan menarik perhatian masyarakat pada umumnya? Karena hal ini langsung berhubungan dengan masyarakat sebagai satu pribadi yang utuh. Di mana sebagai pribadi yang utuh tentunya ia mempunyai hak dankewajiban tertentu yang haru dihormati pula oleh orang lain. Di sini dibutuhkan suatu ilmu etika yang bertujuan mencari kebenaran yang sedalam-dalamnya, dan selanjutnya mencari ukuran baik dan buruk bagi tingkah laku manusia. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. 
Utilitarianisme merupakan bagian dari etika filsafat mulai berkembang pada abad ke-19 sebagai kritik atas dominasi hukum alam. Kemunculannya di latarbelakangi oleh keinginan besar untuk melepaskan diri dari belenggu doktrin hukum alam.    
Sebagai teori etis secara sistematis teori utilitarisme di kembangkan Jeremy Betham dan muridnya, John Stuart Mill.[1] Utilitarisme disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happines theory). Karena utilitiarianisme dalam konsepsi Bentham berprinsip the greatest happiness of the greatest number.[2] Kebahagiaan tersebut menjadi landasan moral utama kaum utilitarisme, tetapi kemudian konsep tersebut di rekonstruksi Mill menjadi bukan kebahagiaan pelaku saja, melainkan demi kebahagiaan semua. Dengan prinsip seperti itu, seolah-olah utilitarisme menjadi teori etika konsekuensialisme dan welfarisme.[3]
Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Prinsip kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda. Dalam pandangan utilitarisme klasik, prinsip utilitas adalah the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang). Hal ini dapat dipahami bahwa di mana kebahagiaan disamakannya dengan kenikmatan dan dengan kebebasan perasaan sakit. Berkat konsep fundamentalnya tersebut Jeremy Betham diakui sebagai pemimpin kaum Radikal Filosofis yang sangat berpengaruh. Akan tetapi teori yang di usung Betham tersebut mempunyai banyak kelemahan terutama tentang moralitas, sehingga para pengkritik mencelanya sebagai pig philosophy; filsafat yang cocok untuk babi. Salah paham tersebut kemudian berusaha diluruskan kembali oleh pengikutnya, Jhon Stuart Mill.[4] Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk memberikan tinjauan kritis atas relevansi etika utilitarisme John Stuart Mill dalam pengembangan HAM di Indonesia.




II.                ETIKA UTILITARISME JOHN STURT MILL
2.1  Apa itu Utilitarisme
Term utilitarisme berasal dari bahasa Latin dari kata Utilitas, yang bearti useful, berguna, berfaedah dan menguntungkan. Jadi paham ini menilai baik atau tidaknya, susila atau tidak susilanya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang didatangkannya.[5]
Secara terminology utilitarisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tidak bermanfaat, tak berfaedah, merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak.[6]
Menurut Jhon Stuart Mill utilitarisme adalah aliran yang menerima kegunaan atau prinsip kebahagiaan terbesar sebagai landasan moral, berpendapat bahwa tindakan benar sebanding dengan apakah tindakan itu meningkatkan kebahagiaan, dan salah selama tindakan itu menghasilkan lawan kebahagiaan. Sedangkan kebahagiaan adalah kesenangan dan hilangnya derita; yang dimaksud dengan ketakbahagiaan adalah derita dan hilangnya kesenangan.[7] Utilitarisme merupakan pandangan hidup bukan teori tentang wacana moral. Moralitas dengan demikian adalah seni bagi kebahagiaan individu dan sosial. Dan kebahagiaan atau kesejahteraan pemuasan secara harmonis atas hasrat-hasrat individu.
Utilitarisme merupakan suatu paham dalam etika yang menegaskan bahwa baik buruknya suatu perbuatan ditentukan oleh kegunaan atau manfaatnya (utilis: berguna atau bermanfaat). [8] Manfaat yang dimaksudkan dalam paham ini bukan hanya bagi subjek yang melakukan melainkan diperuntukan juga bagi semua orang yang dipengaruhi atau mendapat akibat dari perbuatan itu baik secara langsung maupun tidak langsung. Norma dasar dari paham utilitarisme adalah: “Bertindaklah selalu menurut kaidah yang sedemikian sehingga perbuatan Anda membawa manfaat ang sebesar-besarnya untuk sebanyak mungkin orang”. Manfaat yang dimaksudkan di sini juga beraneka ragam. Ada yang menyamakan manfaat yang dimaksudkan dengan kesenangan (hedonisme), ada yang menyamakannya dengan kebahagiaan (eudaimonisme), ada pula yang melihatnya dalam kejamakan nilai (pluralism nilai: ekonomis, social, politis, dsb.)[9]
Dalam perkembangannya, Will Kymlicka membagi utilitarisme dalam empat varian sesuai dengan sejarah perkembangannya. Pada tahap pertama, utilitarisme diartikan sebagai hedonisme kesejahteraan (walfare hedonism). Ini adalah bentuk utilitarisme paling awal yang memandang bahwa pemenuhan kebahagiaan manusia terletak pada terpenuhinya hasrat kesenangan manusia yang bersifat ragawi. Akan tetapi, model utilitarisme ini sangat tidak tepat sasaran, sebab boleh jadi apa yang terasa nikmat belum tentu baik bagi individu. Oleh karena itu, muncul jenis utilitarisme kedua, utilitas bagi keadaan mental yang tidak beriorientasi hedonis (non-hedonistic mental-state utility). Pada perkembangan ini, aspek hedonistik dihilangkan dan diganti dengan kesenangan yang menjamin kebahagiaan. Utilitarisme dipahami sebagai terpenuhinya semua pengalaman individu yang bernilai, darimana pun hal itu berasal. Utilitarisme model kedua juga menyimpan persoalan, karena pengalaman yang bernilai ternyata tidak satu, dan tidak mungkin semua pengalaman bernilai itu terpenuhi dalam satu waktu. Individu harus memilih. Utilitarisme model ketiga adalah terpenuhinya pilihan-pilihan individu. Utilitarisme tahap ini disebut sebagai pemenuhan pilihan (preference satisfaction). Utilitarisme tahap ini mengandaikan adanya unsur keterlibatan rasionalitas dalam memenuhi utilitas. Pada tahap terakhir, utilitarisme diartikan sebagai terpenuhinya pilihan-pilihan rasional individu yang berdasar kepada pengetahuan dan informasi yang utuh mengenai pilihan-pilihan tersebut. [10]
Utilitarisme ini disebut pilihan yang berbasis informasi (informed preference). Rasionalitas atau informed preference bukan malah semakin membebaskan manusia dan menunjukkan jalan terbaik bagi pemenuhan kebutuhan manusia, malah akan menjadi legitimasi bagi totalitarianisme. Apalagi, utilitarisme terkenal dengan semboyan “The greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang).

2.2  Utilitarisme John Stuart Mill
2.2.1        Pemikiran Tentang Kebahagiaan
John Stuart Mill menegaskan bahwa ada dua sumber pemikiran utilitarisme. Pertama, dasar normatif artinya suatu tindakan dianggap benar kalau bermaksud mengusahakan kebahagiaanyang merupakan tujuan akhir dari setiap tindakan moral. Kedua, dasar Psikologi artinya pada hakekatnya, manusiabertolak dari suatu keyakinannya bahwa kebanyakan, dan mungkin saja semua, orang mempunyai keinginan dasar untuk bersatu dan hidup harmonis dengan sesama manusia serta mengalami kebahagiaan.[11]
Utilitarisme menggunakan utility (manfaat) dan kebahagiaan terbesar (the greatest happiness) sebagai dasar moralitas. Dasar tersebut menyatakan bahwa tindakan adalah benar jika bertujuan menambah kebahagiaan atau salah jika bertujuan menimbulkan keburukan. Jadi suatu tindakan adalah baik hanya jika memaksimalkan kebahagiaan manusia dan hasil akhir dari suatu tindakan jauh lebih penting dari pada motivasi di belakangnya. Artinya, memaafkan kebohongan bilamana memiliki faedah (kegunaan) yang memadai untuk lebih membantu orang dari pada mencelakakannya. Dengan demikian, misalnya mencuri bisa diterima secara moral, jika mencuri dikarenakan untuk memberi makan anak-anak yang kelaparan. Karena tujuan perbuatan manusia dan ukuran moralitas adalah hidup bebas dari kesedihan, dan hidup dalam kesenangan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Bagi Mill kebajikan tidaklah berlawanan dengan kebahagiaan. Kebajikan adalah salah satu unsur yang membuat bahagia.
Menurut Mill, tolak ukur moralitas kebahagiaan kaum utilitarisme bukan kebahagiaan pelaku saja, melainkan demi kebahagiaan semua. Akan tetapi orang dapat bertanya: apa yang dapat menggerakkan saya untuk berkurban demi kebahagiaan orang lain? Untuk menjawab pertanyaan ini Mill memakai teori psikologi tentang asosiasi: Asal saja orang membiasakan diri untuk mengaitkan kebahagiaannya sendiri dengan kebahagiaan seluruh masyarakat, maka motivasi untuk mengusahakan kebahagiaan sendiri juga akan mendorongnya untuk mengusahakan kebahagiaan masyarakat.[12]
Menurut Mill, semula manusia memang bukan menginginkan keutamaan (atau uang dan sebagainya) demi dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai sarana untuk menjadi bahagia. Karena manusia menyadari bahwa ia hanya dapat menjadi bahagia apabila memiliki keutamaan, maka ia mengusahakan agar ia memilikinya. Tetapi dengan terus mengejar keutamaan, lama-kelamaan keutamaan dikaikan sedemikian erat dengan kebahagiaan sehingga seakan-akan menjadi bagian dari kebahagiaan. Bagi Mill bahwa keinginan untuk memperoleh kesenangan yang besar merupakan satu-satunya motif tindakan individu, dan bahwa kebahagiaan yang paling besar dari setiap orang merupakan patokan bagi kebaikan masyarakat dan sekaligus menjadi tujuan dari semua tindakan moral.
Kebahagiaan adalah kesenangan (pleasure) dan bebas dari perasaan sakit (pain) sedang ketidakbahagiaan berarti adanya perasaan sakit (pain) dan tidak adanya kesenangan. Maka, Ada dua hal yang dapat dipahami, Pertama, moralitas tindakan diukur dari sejauh mana diarahkan kepada kebahagiaan, dan Kedua, kebahagiaan sendiri terdiri atas perasaan senang dan kebebasan dari rasa sakit.[13] Bagi Mill kebahagiaan terbagi dalam enam disposisi, yaitu: Pertama, baik dalam bidang pikir maupun kerja, terdapat konsekuensi-konsekuensi senang dan susah. Satu-satunya yang diinginkan ialah kesenangan, sebagai konsekuensi logis. Kedua, dari segi psikologi, di mana pun manusia berada, apa pun yang mereka kerjakan, sudah menjadi wataknya, manusia itu selalu mendambahkan/menginginkan kesenangan. Ketiga, antara kesenangan-kesenangan itu sendiri kualitasnya tidak sama. Manusia pasti akan memilih jenis kesenangan yang menurut anggapannya lebih baik dan lebih sesuai dengan dirinya. Keempat, bahwa kesenangan itu sendiri dapat dirasakan oleh banyak orang. Bila masih ada hal-hal lain yang diperlukan di luar dari kesenangan maka hal-hal lain itu tidak lebih daripada pelengkap dari kesenangan itu sendiri. Kelima, bahwa bila terdapat dua jenis kesenangan yang dianggap sama, maka yang dijadikan kriteria untuk memilih mana di antaranya yang terbaik, maka dipilihlah yang paling lama memberikan kesan, yang paling lama dapat dinikmati tanpa mengaitkan penilaian itu dengan biayanya. Keenam, bahwa kesenangan itu adalah merupakan suatu yang paling pantas diterima oleh seseorang yang telah bekerja, telah berusaha dan telah berjuang dalam hidupnya.[14] Mill berusaha menunjukkan bahwa kebahagiaan mempunyai karakteristik kualitatif dan kuantitatif. Sehingga bukan merupakan penyimpangan dari prinsip utilitas dengan mengakui kenyataan bahwa beberapa jenis kesenangan mempunyai kualitas lebih tinggi dibandingkan yang lain. Satu orang mungkin lebih memilih satu kesenangan dari kesenangan lainnya meskipun itu diperoleh dengan ketidakpuasan yang lebih besar. Individu yang bijak menuntut lebih dari sekedar kesenangan lahiriah (sensual pleasure) untuk membuatnya bahagia. Bagi orang seperti ini, ketidakpuasan di bawah kondisi tertentu lebih baik dari kepuasan. ”Lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada menjadi babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates daripada orang tolol yang puas.[15] Bagaimana orang bisa menentukan manakah dari dua kesenangan yang mempunyai nilai lebih intrinsik? Mill menyatakan bahwa keputusan dari orang yang mengalami kedua kesenangan itu harus dijadikan pedoman. Karena perbandingan antara kualitas kesenangan pada dasarnya tidak berbeda dengan perbandingan kuantitas, bahkan perbandingan yang disebut terakhir ini harus dijadikan acuan sebagai keputusan orang yang paling kompeten.
Utilitarisme mengungkap suatu penghayatan moral yang kritis dan rasional. Tidak diakui bahwa ada tindakan-tindakan yang pada dirinya sendiri wajib atau terlarang. Pada dirinya sendiri semua tindakan dianggap netral. Yang memberi nilai moral kepada tindakan-tindakan itu ialah tujuannya dan akibat-akibatnya sejauh dapat diperhitungkan sebelumnya. Misalnya hal hubungan seks di luar perkawinan. Seorang utilitaris tidak akan menerima bahwa hal itu begitu saja tidak boleh. Ia akan menuntut agar diberikan alasan-alasan yang masuk akal dengan mempertimbangkan akibat-akibat baik dan buruk dari hubungan seks di luar perkawinan, baru ia memberi penilaian apakah boleh atau tidak.
Utilitarisme sebagai pendirian etis terasa masuk akal, tidak dapat dipersoalkan karena memang jelas yang disikapi. Apa arti berbuat baik bila tak mendatangkan kegunaan, manfaat, keuntungan apa pun macam dan tingkatnya? Menurut Utilitarisme semua perbuatan baru dapat dinilai jika akibat dan tujuannya sudah dipertimbangkan. Sebelum itu netral; semua peraturan tidak dengan sendirinya harus ditaati. Sebelum ditaati, peraturan itu harus dipertanggungjawabkan akibatnya bagi mereka yang terkena. Karena pada hakekatnya manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama orang lain dan harus memperhitungkan mereka dalam perilaku dan tindakannya. Mill menolak anggapan bahwa utilitarisme sama dengan opurtunisme yang selalu memilih apa yang paling bermanfaat. Bagi Mill prinsip manfaat hanya kalau dapat membenarkan tuntutan mutlak seperti jangan berbohong, karena kalau larangan itu mutlak, kepercayaan antara manusia dapat dipertahankan, padahal kepercayaan itu amat diperlukan, kecuali itu memang ada kemungkinan suatu kekecualian dan hal itu juga diakui oleh etika-etika yang bukan utilitaristik. Begitu pula sangkaan bahwa tidak mungkin manusia selalu mempertimbangkan segala akibat tindakannya tidak kuat, karena akibat kebanyakan tindakan sudah disadari manusia berdasarkan pengalaman umat manusia selama beribu-ribu tahun.[16]

2.2.2        Kebebasan Manusia
Manusia mencari bentuk kesenangan yang lebih tinggi, tujuan moralnya lebih pasti dan kesadaran sosialnya lebih tajam hanya jika mereka memahami diri mereka dengan benar. Akan tetapi, intitusi dan praktik masyarakat yang terorganisir seringkali sangat menghalangi pencerahan dan kemajuan intelektual seseorang, dan konsekuensi logisnya kesenangan yang dicari manusia seringkali mempunyai tingkat yang rendah. Sebenarnya tak ada masalah dalam menyediakan motif bagi kegunaan. Pada dasarnya motif itu telah tersedia dalam bentuk-bentuk simpati kemanusiaan yang sederhana atau perasaan terhadap sesama. Jika manusia memahami dirinya sendiri secara cukup, dan tidak disesatkan oleh konsepsi-konsepsi yang keliru tentang situasi manusia yang ditanamkan melalui agama yang buruk, filsafat yang buruk, dan pemerintah yang buruk, kemajuan moral manusia akan berjalan lebih cepat. Yang paling diperlukan bagi pencerahan pada saat ini adalah kebebasan. Karena kebebasan adalah sarana dan sekaligus tujuan, suatu syarat bagi kesejahteraan umum dan komponen intrinsik bagi kebahagiaan pribadi. Karena kebebasan merupakan kebaikan tertinggi yang bisa diwujudkan oleh masyarakat yang terorganisir.[17] Satu-satunya tindakan individu, di mana ia setuju dengan masyarakat adalah tindakan yang menyangkut orang lain. Kebaikannya sendiri, baik fisik atau moral, bukanlah suatu justifikasi yang mencukupi bagi negara untuk melakukan kegiatan intervensi. Intervensi publik diperbolehkan ketika individu menimbulkan kerusuhan atau melalaikan keluarga. Dalam membuat garis batas kebebasan manusia, Mill mendata tiga kategori utama: Kebebasan berbicara, mendapatkan pekerjaan dan berkumpul. Tidak ada masyarakat yang bisa disebut bebas jika tiga kebebasan tersebut tidak dihormati, apapun bentuk kepemerintahannya. Untuk menjustifikasi kebebasan-kebebasan tersebut, Mill menggunakan argumentasi yang sangat pragmatis dan utilitarian. Adalah penting manusia mengekspresikan kebebasannya karena pertama, pendapatnya mungkin benar. Kedua, meskipun pendapatnya mungkin salah. Ketiga, apakah pendapatnya salah atau benar, ia mendorong pemikiran dan respon. Bahaya khusus dari menyembunyikan pendapat adalah dalam merampas harkat manusia: orang-orang yang tidak menerima pendapat masih lebih banyak dari mereka yang menerima. Jika pendapatnya benar, maka mereka tidak mempunyai kesempatan mengganti kesalahan dengan kebenaran; jika salah, mereka kehilangan manfaat besar, persepsi yang lebih jelas dan kesan yang lebih hidup akan kebenaran, yang ditimbulkan oleh benturannya dengan kesalahan.[18]
Akan tetapi kebebasan-kebebasan tersebut tidak berlaku sepanjang waktu dan dalam semua keadaan. Tindakan tidaklah sebebas pendapat dan bahkan kehilangan kebebasannya jika lingkungan di mana pendapat itu dinyatakan menunjukkan dorongan positif pada tindakan kejahatan. Di samping itu, kebebasan bertindak dan berbicara hanya berlaku bagi mereka yang sudah dewasa. Anak-anak tidak mempunyai hak karena mereka masih dalam tahap di mana mereka harus dilindungi dari tindakan yang merugikan yang berasal dari orang lain dan diri mereka sendiri. Selain itu, membatasi kebebasan individu seseorang adalah untuk melindungi kebebasan orang lain. Karena tanpa kebebasan seorang pribadi tidak dapat menyadari bakat dan kebahagiaannya.

2.3  Relevansi Etika Utilitarisme John Stuart Mill dalam Praktek HAM di Indonesia
Dari proposisi di atas dapat dipahami bahwa utilitarisme Jeremy Bentham dengan prinsip the greatest happiness of the greatest number seolah-olah menjadi teori etika konsekuensialisme dan welfarisme. Konsekuensialisme dipahami sebagai paham yang bependirian bahwa yang baik ditetapkan berdasarkan akibat. Bila akibat itu baik, maka perbuatan yang bersangkutan baik. Sebaliknya, meskipun dikatakan baik, bila akibatnya buruk, maka perbuatan yang bersangkutan buruk. Welfarisme adalah paham yang berpendirian bahwa usaha masyarakat, terutama negara, harus ditujukan untuk kesejahteraan masing-masing warga negara dan rakyat secara keseluruhan. Karena itu, utilitarisme berpendirian bahwa perbuatan baik ditentukan menurut akibat baik, kegunaan, manfaat, dan keuntungannya bagi masing-masing dan sebagaian besar orang yang terkena.
Dari konsepsi berfikir seperti di atas, maka sebagai prinsip moral, Utilitarisme mengandung beberapa kelemahan mendasar. Pertama, terlalu menekankan kegunaan, manfaat keuntungan, sebagai kriteria untuk menilai baik dan buruknya perbuatan. Muncul pertanyaan,”berguna untuk siapa”?. Karena kegunaan, manfaat, keuntungan selalu berhubungan dengan orang yang terkena. Padahal pandangan orang tentang apa yang berguna, bermanfaat, menguntungkan sangat subyektif dan berbeda-beda. Selain itu, prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa pun bahwa kebahagiaan dibagi juga dengan adil. Jika dalam suatu masyarakat mayoritas terbesar hidup makmur dan sejahtera serta hanya ada minoritas kecil yang serba miskin dan mengalami rupa-rupa kekurangan, menurut utilitarisme dari segi etis masyarakat seperti telah diatur dengan baik, karena kesenangan melebihi ketidaksenangan.[19]Kedua, Utilitarisme sangat memperhatikan akibat dan bukan hakikat perbuatan. Hal tersebut menyebabkan atas nama Utilitarisme, orang tidak perlu sibuk dengan pemikiran tentang hakikat, tetapi apa akibat bagi hidup kita. Maka dalam prakteknya Utilitarisme mudah mengesampingkan fakta kemanusiaan dan etis dasar yang tersangkut oleh perbuatan. Alasannya jelas sebab fakta kemanusiaan dan etis dasar itu secara langsung menampakkan ketidakgunaan, ketidakmanfaatan, dan kerugiannya. Atas nama keuntungan, orang-orang Utilitarisme dengan tenang akan melanggar hak asasi manusia seperti hak milik. Ketiga, Utilitarisme mendorong tumbuhnya mentalitas Instan, langsung (immediate), dan berfikiran dan pandangan pendek (short sight). Karena terjebak pada paradigma kegunaan, manfaat, dan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan. Maka ada kemungkinan memakainya untuk membenarkan perbuatan yang menurut pendapat umum egois bahkan amoral.
Namun di balik itu semua, ada hal yang sangat positif dari etika Utilitarisme, Pertama, Rasionalitas. Suatu tindakan dipilih, atau pada gilirannya dinilai baik, karena tindakan itu akan mendatangkan akibat baik yang lebih banyak daripada tindakannya. Di sini ada sebuah neraca perhitungan. Dengan demikian, dalam kerangka pengambilan keputusan, khususnya dalam hal ini di bidang bisnis, Ia memberi peluang bagi debat, argumentasi dan diskusi dalam rangka kalkulasi keuntungan atau nilai lebih yang akan diperoleh suatu tindakan atau kebijakan tertentu. Ia tidak sekedar menenakankan tindakan tertentu demi tindakan itu, melainkan karena alasan rasional. Kedua, Universalitas. Akibat atau nilai lebih yang hendak dicapai diukur berdasarkan banyaknya orang yang memperoleh manfaat dari nilai lebih itu. Etika Utilitarisme mengutamakan tindakan atau kebijaksanaan yang mengutamakan kepentingan banyak orang di atas kepentingan segelintir orang. Ketiga, Kebahagiaan yang merupakan tolak ukur utilitarisme tentang betul-salahnya kelakukan manusia bukanlah kebahagian si pelaku sendiri, melainkan kebahagiaan semua orang yang bersangkutan. Utilitarisme menuntut agar pelaku berlaku dengan tidak berpihak, sebagai pengamat positif dan tanpa pamrih, dalam memilih antara kebahagiaannya sendiri dan kebahagiaan orang lain.
Substansi pemikiran John Stuart Mill sejalan dengan pengembangan hak asasi manusia yang tengah menjadi isu dunia internasional, termasuk Indonesia. Bahwa, lahirnya Hak Asasi Manusia (HAM) dilandasi dua hak paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan, yang mencerminkan hak kebebasan seseorang tidak boleh dipergunakan untuk memanipulasi hak orang lain, demi kepentingannya sendiri, namun sebaliknya untuk membuat orang lain tidak dirugikan sehingga terdapat persamaan.Bentuk ideal hak kebebasan masih jauh dari harapan. Bahwa hak kebebasan yang mensyaratkan keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam perkembangannya masih mengalami ketimpangan-ketimpangan. Artinya, apa yang sesungguhnya terjadi dalam praktek kehidupan (das sein) tidak sejalan dengan apa yang seharusnya diwujudkan (das sollen).
Kebebasan menurut John Stuart Mill secara ontologis substansial bukanlah perbuatan bebas atas dasar kemauan dirinya sendiri, bukan pula perbuatan bebas tanpa kontrol, tanpa pembatas, yang mengakibatkan daya kritis masyarakat tetap tiarap, namun perbuatan bebas yang diarahkan menuju sikap positif, tidak mengganggu dan merugikan orang lain, dan sebaliknya menguntungkan kedua belah pihak. Hal demikian itu merupakan cerminan hakikat keadilan bersifat universal, secara psikologis dapat mendatangkan kepuasan semua pihak dan secara aksiologis mendatangkan manfaat untuk mengatasi persoalan kehidupan masyarakat yang makin berkembang, pluralistik serta memberi manfaat berupa kebahagiaan bersama.
Dalam konteks universal, nilai moral substansial seperti keseimbangan hak dan kewajiban yang diajarkan John Stuart Mill melalui filsafat kebebasannya, sejak tahun 1948 diperjuangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat Piagam PBB yang dikenal dengan sebuatan Declaration of Human Rights. Substansi deklarasi tersebut, katanya, berisi anjuran kepada bangsa-bangsa di dunia untuk menghargai dan mengembangkan hak-hak asasi, hak-hak kebebasan manusia, serta kewajiban mentaati hukum sebagai sarana pembatas demi terjaminnya pengakuan dan penghargaan terhadap kebebasan orang lain, sebagai syarat terpenuhinya keadilan dalam kehidupan bersama, baik kehidupan antara sesama manusia, sesama bangsa dan negara.
Di Indonesia, nilai moral substansial berupa keseimbangan hak dan kewajiban yang diajarkan John Stuart Mill melalui filsafat kebebasannya juga diperjuangkan dan dikembangkan. Hal ini bertujuan agar bangsa Indonesia yang besar dan pluralistik tetap terpelihara persatuan dan kesatuannya, sekaligus berupaya untuk mengembangkan dan melaksanakan hak asasi, hak kebebasan individu warganya dengan disertai kewajiban untuk saling menghargai dan menghormati kebebasan individu warga lain, demikian juga sebaliknya. Sikap dan perbuatan itu selaras dengan substansi nilai keadilan, tidak diskriminatif, dan secara ontologis bermanfaat untuk menjawab persoalan kehidupan masyarakat Indonesia yang makin berkembang dan kompleks.

III.             PENUTUP
Dari deskripsi di atas dapat diambil sebuah kesimpulan. Pertama, etika Utilitarisme muncul pada abad ke-19 sebagai reaksi penolakan terhadap belenggu paham hukum alam yang berkembang pesat pada saat itu. Kemunculannya dipelopori David Hume, tetapi disempurnakan dalam sebuah teori baku oleh Jeremy Betham dan tokoh yang paling berpengaruh dalam utilitarisme adalah John Stuart Mill, yang berhasil merekonstruksi kelemahan-kelemahan mendasar paham Utilitarisme, sehingga dapat menjawab kritikan-krtitikan dari para penentang Utilitarisme. Kedua, Utilitarisme menggunakan utility (manfaat) atau the greatest happiness (kebahagiaan terbesar) sebagai dasar moralitas. Tetapi tolak ukur moralitas kebahagian utilitarisme Mill bukan kebahagian pelaku saja, melainkan demi kebahagiaan semua. Artinya, agar pelaku berlaku berposisi netral dengan tidak berpihak, dalam memilih antara kebahagiaannya sendiri dan kebahagiaan orang lain. Di samping itu, kebahagiaan tersebut memiliki kualitas, karena ada kebahagiaan yang bermutu dan ada yang tidak. Kebahagiaan manusia dinilai lebih bermutu atau tinggi dibandingkan dengan kebahagiaan hewan. Ketiga, utilitarisme menjebak manusia masuk dalam perangkap konsekuensialisme dan Welfarisme, karena terlalu menekankan kegunaan, manfaat keuntungan, sebagai kriteria untuk menilai baik dan buruknya perbuatan, memperhatikan akibat dan bukan hakikat perbuatan. Dan berpotensi mendorong tumbuhnya mentalitas Instan, langsung (immediate), dan berpikiran dan pandangan pendek (short sight). Situasi yang demikian, memungkinkan setiap individu untuk menghalalkan segala cara demi mencapai suatu tujuan, karena yang terpenting dalam paham utilitarisme adalah tujuaan atau manfaat yang mau dicapai bukan cara untuk mencapai tujuan itu.
Dalam bangsa yang plura seperti Indonesia, kita tidak bisa menerapkan secara penuh etika utilitrisme Stuart Mill melainkan kita mencoba untuk menarik suatu nilai yang diajarkan oeh etikanya ini secara khusus dalam pandangannya tentang kebebasan. Karena ketika kita secara lurus menafsir dan mempraktekan etika utilitarisme maka serentak pula kita membuat suatu pelanggaran terhadap HAM karena telah mengorbankan sesame demi suatu tujuan tertentu.







DAFTAR PUSTAKA



K,Bertens. 2007, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lanur, Alex.2005, On Liberty, Jakarta: Obor.
Magnis-Suseno, Franz. 2000, 12 Tokoh Etika Abad ke-20,Yogyakarta: Kanisius.
__________________.1997, 13 TokohEtika, Yogyakarta: Kanisius.
__________________.1988, Kuasa dan Moral,Jakarta: Gramedia.
__________________.1998, 13 Model Pendekatan Etika,Yogyakarta: Kanisius.
Ceunfin, Frans.2005, Etika (manuskrip), Maumere: Ledalero.



       [1] John Stuar Mill adalah seorang fisuf berkebangsaan Inggris. Pada usia 15 tahun, ia membaca karangan Jeremy Betham dan berhasil mempengaruhi paradigma berfikirnya, sehingga ia mematangkan pendapatnya dan memantapkan tujuannya untuk menjadi ”Sosial Reformer” (pembaharu sosial).Ia kemudian membebaskan diri dari gurunya Jeremy Benthan dan mengembangkan filsafatnya sendiri yang dikenal dengan utilitarisme. 
       [2] Bdk. http://hankkuang.wordpress.com/2009/06/09/john-stuart-mill-utilitarisme/, diakses pada Selasa,27 April 2010.
       [3] Welfarisme adalah paham yang berpendirian bahwa usaha masyarakat terutama negara, harus ditujukan untuk kesejahteraan masing-masing warga negara dan rakyat secara keseluruhan.
       [4] Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius, 1997),hlm.180-181.
       [5] Bdk., Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 190-191.
       [6]  http://www.suarapembaruan.com/News/2008/08/06/Editor/edit02.htm, diakses pada Selasa, 27 April 2010.
       [7]  Bdk. http://hankkuang.wordpress.com/2009/06/09/john-stuart-mill-utilitarisme/, diakses pada Selasa,27 April 2010.
       [8] Frans Cunfin, Etika (manuskrip), (Maumere: Ledalero), hlm. 57.
       [9]  Ibid, hlm.57
       [10] Bdk. http://hankkuang.wordpress.com/2009/06/09/john-stuart-mill-utilitarisme/, diakses pada Selasa,27 April 2010.
       [11]  Bdk. Franz Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm.174.
       [12] Franz Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 174.
       [13] Ibid., hlm.174.
       [14] Bdk. http://www.suarapembaruan.com/News/2008/08/06/Editor/edit02.htm, diakses pada Selasa, 27 April 2010.
       [15] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 182.
       [16] Ibid, hlm.175.
       [17] Bdk. http://hankkuang.wordpress.com/2009/06/09/john-stuart-mill-utilitarisme/, diakses pada Selasa,27 April 2010.
       [18] Bdk. http://hankkuang.wordpress.com/2009/06/09/john-stuart-mill-utilitarisme/, diakses pada Selasa,27 April 2010.
       [19] Bdk., Karl Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2007), hlm. 252.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELIS DALAM BUDAYA LAMAHOLOT

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA : LANDASAN PEMBENTUKAN KARAKTER

CURICULUM VITAE