PRAKTIK KKN : SEBUAH UPAYA PEREDUKSIAN KONSEP TUJUAN MENGHALALKAN CARA

Oleh: Oceph Namang
*Alumnus STFK Ledalero, Tinggal di Lewoleba-Lembata

            “Seorang pemimpin yang ingin menegaskan dirinya harus mampu bertindak jahat (tegas), jika hal itu diperlukan”(Machiavelli). Kutipan singkat di atas mewakili ciri khas doktrin politik yang dikembangkan oleh Niccolo Machiavelli. Dalam karyanya Sang Penguasa, ia secara gamblang menggambarkan realisme politik yang diidamkannya. Ia menghendaki suatu sistem pemerintahan yang otoriter, di mana penguasa atau pemimpin negara dapat menggunakan cara apa saja untuk mengeksiskan dirinya sebagai pemimpin. Di sini jelas bahwa ia mendukung penghalalan berbagai cara untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan dipandang lebih mulia dan menjadi target utama tanpa memperhatikan cara apa yang digunakan untuk sampai pada tujuan itu.
Dalam karyanya Il Principe atau Sang Penguasa Machiavelli mengedepankan berbagai petunjuk tentang bagaimana menjadi raja yang berkuasa, dan disegani oleh penduduk, serta nasihat-nasihat bagaimana usaha untuk mempertahankan kekuasaan yang ada. Permasalahan utama yang menjadi landasan bagi doktrin politik Machiavelli ini adalah bahwa; bagaimana seorang pemimpin dapat mempertahankan kekuasaannya dalam berbagai intrik politik? Machiavelli sendiri berpandangan bahwa, seorang raja boleh melakukan apa saja atau dengan kata lain boleh dengan segala cara untuk mendapatkan atau melanggengkan kekuasaannya.
Pendapat Machiavelli ini bertolak dari kondisi riil tingkah laku politik anggota masyarakat masing-masing negara yang telah diamatinya. Tujuan dari semua usaha penguasa itu, adalah mempertahankan stabilitas suatu negara agar negara tetap aman dan apabila ada ancaman baik itu dari dalam maupun dari luar negeri maka diadakan tindakan penyelamatan. Tindakan yang diambil oleh penguasa tidak berdasarkan kepentingan rakyat. Akan tetapi, tergantung dari keadaan dan desakan situasi sosial tanpa mempedulikan apakah tindakan tersebut dinilai baik atau buruk oleh rakyat.
Seorang penguasa tidak perlu takut akan kecaman yang timbul karena kekejamannya selama ia dapat mempersatukan dan menjadikan rakyat setia, dan demi keselamatan negara. Menurut Machiavelli seorang penguasa jauh lebih baik ditakuti oleh rakyatnya daripada dicintai. Dalam usaha menegakkan kekuasaannya seorang penguasa dapat melakukan tindakan yang mengabaikan penilaian moral dari masyarakat, seperti misalnya keluarga dari penguasa sebelumnya harus dimusnahkan semuanya untuk mencegah terjadinya pemberontakan di kemudian hari. Hal itu harus dilakukan penguasa atas desakan dan tuntutan situasi dalam menguasai suatu wilayah baru agar ancaman terhadap kekuasaan wilayah tersebut lenyap, setelah itu baru menarik simpati rakyat agar mendapatkan dukungan. Jadi tugas penguasa adalah mengamankan kekuasaan yang ada ditangannya agar dapat bertahan dengan langgeng. Tujuan berpolitik adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan. Untuk itu segala usaha yang dapat mensukseskan tujuan dapat dibenarkan. Legitimasi kekuasaan membenarkan segala teknik pemanipulasian supaya dukungan masyarakat terhadap kekuasaan tetap ada. Keagungan seorang penguasa tergantung pada keberhasilannya mengatasi kesulitan dan perlawanan.
Pandangan Machiavelli ini dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa yang terpenting dan menjadi prioritas utama adalah tujuan bukannya cara yang dipakai untuk mencapai tujuan itu. Pandangan ini secara  tidak langsung mengagungkan tujuan dan merendahkan cara. Tujuan dipandang sebagai sesuatu yang mulia, sedangkan cara hanyalah sebatas sebagai sebuah jembatan menuju tujuan itu. Dengan itu perhatian setiap orang (penguasa), hanya tertuju pada tujuan yang mau dicapai tanpa mempertimbangkan dan memperhatikan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu. Apakah cara itu layak dan manusiawi atau tidak? Pandangan Machiavelli ini secara tidak langsung menghantar orang kepada paham utilitarisme yang berkembang di Inggris pada abad XIX. Pandangan ini hampir sejalan dengan doktrin politik tujuan menghalalkan cara yang dikembangkan oleh Machiavelli. Kaum utilitarian berpandangan bahwa yang menjadi tujuan dari suatu usaha adalah apakah bermanfaat atau tidak, tanpa memperhatikan cara apa yang digunakan untuk mencapai tujuan itu.
Doktrin politik “Tujuan Menghalalkan Cara”, secara tidak langsung menyuburkan benih otoritarisme dan diktator. Dengan hanya memperhatikan tujuan yang mau dicapai orang boleh bertindak semaunya demi mencapai tujuan itu, tanpa memperhatikan cara yang digunakannya. Pandangan ini mereduksi yang lain menjadi korban demi tercapainya tujuan yang diinginkan.
Dalam bukunya Sang Penguasa, Niccolo Machiavelli memberikan petunjuk bahwa untuk menjadi seorang penguasa boleh melakukan segala cara. Ia juga memberikan nasihat bagaimana menjadi seorang penguasa yang dapat mempertahankan kelanggengan kekuasaannya dengan mengabaikan penilaian moralitas dan agama (bdk. Frans Magnis Suseno: Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzche). Machiavelli membuat pemisahan antara kekuasaan negara dengan kehidupan beragama dan kepentingan moral. Ia hanya membahas bagaimana mencapai tujuan yaitu kekuasaan apapun caranya. Pemikiran Machiavelli yang diutarakan dalam bukunya tersebut menimbulkan pro dan kontra dikalangan masarakat luas, terutama menyangkut hubungan antara kekuasaan dengan moral agama.
Obsesi Machiavelli bahwa tujuan politik adalah untuk memperkuat dan memperluas kekuasaan. Segala usaha untuk menyukseskan tujuan itu dapat dibenarkan. Legitimasi kekuasaan membenarkan segala teknik pemanipulasian dukungan masyarakat terhadap kekuasaan yang ada dan pemisahan antara prinsip moral, dan etika. Prinsip-prinsip ketatanegaraan didasarkan pada adanya perbedaan antara moral dan tata susila merupakan suatu kemungkinan yang diharapkan, sedangkan ketatanegaraan adalah suatu ketatanegaraan yang dihadapi sehari-hari. Oleh karena itu, politik tidak perlu memperhatikan bidang moral.
Akan tetapi janganlah terburu-buru untuk menyimpulkan Machiavelli merupakan sosok seorang yang jahat, sehingga citranya menjadi buruk. Mengapa demikian? Karena apa yang ditulisnya sesungguhnya ingin memberikan pemikirannya dalam politik ketatanegaraan Italia yang pada waktu itu dalam keadaan tidak stabil banyak penguasa yang korup dan rakus akan hal-hal duniawi. Para pakar mengemukakan bahwa penting sekali menjadikan pemikiran Machiavelli sebagai referensi untuk membahas masalah politik yang berhubungan dengan ketatanegaraan. Meskipun etika politik ala Machiavelli ini tak bermoral, namun banyak diadopsi dan dipraktekkan oleh beberapa penguasa selama memimpin negaranya baik yang secara terang-terangan maupun secara sembunyi, seperti Napoleon Bonaparte (Prancis), Louis XVI (Prancis), Adolf Hitler (Jerman), Mussolini (Italia) serta  Saddam Hussein (Irak).
Penguasa-penguasa ini merupakan tokoh-tokoh diktator terkenal yang secara lurus menafsir dan menerapkan doktrin politik Machiavelli. Mereka tak segan-segan menerapkan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang dicita-citakannya. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah praktek demikian terjadi juga di Indonesia? Jawabannya adalah “ya”, meskipun dalam prakteknya tidak terlalu menonjol. Iwan Fals dalam lagunya “Surat Untuk Para Wakil Rakyat” mengkritik secara keras para politisi Indonesia (Wakil Rakyat) yang sering terkenal sebagai orang-orang yang tidur waktu sidang soal rakyat, paduan suara yang hanya tahu nyanyian lagu setuju, dan juara diam. Harus diakui bahwa lagu gubahan Iwan Fals itu bukan sekedar fiksi, melainkan berangkat dari kenyataan yang terjadi dalam negeri Indonesia tercinta ini.
Mengapa image para politisi mendapat cap buruk di mata masyarakat? Adalah rahasia umum bahwa setiap politisi(Wakil Rakyat,red) yang bersuara vokal menentang pemerintah, akan di-recall dan kedudukannya akan digantikan oleh orang lain. Siapa yang mau begitu saja meninggalkan posisi yang begitu enak? Mungkin hanya segelintir orang saja dari sekian ratus anggota DPR yang berani bersuara vokal menentang kebijakan pemerintah. Sebagian besar wakil rakyat akan lebih memilih setuju dengan kebijakan pemerintah, walaupun itu mungkin merugikan rakyat banyak, daripada membela dan memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi menentang kebijakan pemerintah. Lantas, dimanakah janji-janji manis yang pernah diucapkan dulu di atas mimbar kampanye? Apakah janji-janji tersebut sudah mubasir dan kadaluarsa? Ujung-ujungnya  rakyatlah yang menjadi korban, karena aspirasinya tak tersalurkan secara baik.
Dari kenyataan yang ada, tak dapat dipungkiri bahwa secara de facto kinerja para politisi di Negara ini masih jauh dari harapan. Tidak mengherankan jika orang menganggap bahwa politik itu kotor. Ditambah lagi adanya praktek-praktek money politics, mob politics, politik dagang sapi, dll. Pendek kata, para politisi terkadang melaksanakan politik tanpa etika. Mereka seolah-olah telah memisahkan antara moral dan politik. Politik adalah soal mengejar, membela, dan mempertahankan kekuasaan. Dalam mengejar dan membela kekuasaan, pertimbangan dosa atau tidak dosa (pertimbangan moral) disisihkan. Fakta ini jelas menunjukan bahwa para politisi di negeri tercinta ini juga turut terlarut dalam mentalitas  Machevellian.

Bertolak dari sikap hidup yang demikian maka tidaklah mengherankan jika korupsi menjadi suatu hal yang membudaya di negeri ini. Korupsi bahkan sudah mendarah daging sehingga sangat sulit untuk diberantas. Korupsi di negeri ini ibarat gurita yang sudah menjalar ke berbagai sendi sehingga sangat sulit untuk diberantas dari negeri tercinta ini. Jika ditelusuri secara lebih mendalam dan mendetail, sebenarnya gurita korupsi itu sendiri bertolak dari pereduksian konsep tujuan menghalalkan cara. Benih korupsi mulai tersemai ketika setiap orang mengejar tujuannya dengan menghalalkan segala cara. Misalnya, untuk mempertahankan kekuasaannya seseorang berani melakukan paraktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ada yang menampakannya secara gamblang dan ada yang secara laten. Berhadapan dengan kenyataan ini, maka unuk membasmi praktek korupsi di negeri ini, tidak hanya sebatas menangkap pelaku dan memprosesnya secara hokum, tetapi lebih dari itu, pihak-pihak terkait perlu mendalami dan mencari akarnya agar gurita korupsi bisa berhenti menjalar ke generasi-generasi lainnya. Dengan mengangkat akar dari korupsi, maka otomatis praktek korupsi pasti bisa diatasi. Selain itu, konsep pemikiran Machiaveli tentang tujuan menghalalkan cara hendaknya jangan ditafsir secara lurus melainkan harus disesuaikan dengan konteks saat ini. Machiaveli mengusung konsep tersebut karena berhadapan dengan situasinya saat itu yang korup dan rakus, dan knteks tersebut tentunya berbeda dengan kita saat ini. Situasi saat ini yang mengedepankan seruan moral dan HAM, tentunya akan berentangan dengan konsep ini jika diterapkan secara lurus. Karena itu, berhadapan dengan realitas saat ini yang cenderung mereduksi pandangan Machiaveli secara lurus, mari kita bergandengan tangan berusaha untuk menentang segala macam ketidakadilan dengan menghargai kemuliaan dan kemurniaan nilai-nilai moral kemanusiaan dan HAM, demi terciptanya suatu Negara yang aman, damai dan mensejahterakan rakyatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELIS DALAM BUDAYA LAMAHOLOT

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA : LANDASAN PEMBENTUKAN KARAKTER

CURICULUM VITAE