FILSAFAT BERKEBUN MASYARAKAT LAMAHOLOT DAN MANGGARAI
FILSAFAT
BERKEBUN
MASYARAKAT
LAMAHOLOT DAN MANGGARAI
I.
Pendahuluan
Tanah sudah menjadi aktor penting dalam
lingkaran kesejahteraan kehidupan manusia. Bersamanya manusia berkreasi dan
bekerja keras yang nyata dalam kegiatan berkebun atau bercocok tanam. Dari
kebun manusia memperoleh makanan yang bermanfaat bagi kelanggengan kehidupannya.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau manusia dengan segala kemampuannya
memberikan perhatian besar pada hal yang teramat penting ini.[1]
Masyarakat Lamaholot dan Manggarai misalnya memiliki kekhasan tersendiri dalam
soal memberikan perhatian terhadap tanah. Mereka memiliki sejumlah ritus yang
dilaksanakan dalam kaitananya dengan cara mengolah tanah atau ladang mereka. Pada
dasarnya kekhasan itu lahir dari suatu mitos yang melatarbelakangi pelaksanaan
dan perkembangan satu tata laku dalam kehidupan masyarakat Lamaholot (dalam hal
ini cara berkebun dan mengolah tanah). Dalam kerangka seperti ini pula kami
berusaha menjelaskan teknik berkebun atau mengolah tanah yang dihidupi dalam
kebudayaan masyarakat Lamaholot dan Manggarai. Terkhusus untuk masyarakat
Lamaholot yang dijelaskan ialah sampel dari satu wilayah dalam kesatuan rumpun suku
bangsa Lamaholot. Istilah yang terdapat dalam penjelasan-penjelasnya pun
merupakan kekhasan daerah tersebut. Dalam masyarakat Lamaholot terdapat variasi
istilah untuk satu ritus yang sama sehingga kami hanya menampilkan sampelnya
saja. Akan tetapi, istilah yang beraneka itu tidak mengurangi makna dari ritus
yang dijalankan.
II.
Ritus Berkebun Masyarakat Lamaholot dan
Manggarai
2.1
Ritus Berkebun Masyarakat Lamaholot
2.1.1
Konsep
Masyarakat Lamaholot tentang Tanah.
Seperti yang sudah disingung sebelumnya
bahwa mitos amat mempengaruhi perilaku kehidupan orang yang menjiwai mitos
tersebut begitupun dengan masyarakat Lamaholot. Tentang tanah sendiri
masyarakat Lamaholot berkisah demikian.
Tanah atau bumi dipandanng sebagai sumber
yang memberikan kehidupan. Bumi mempunyai jiwa. Karena itu, ia hidup seperti
manusia. Air dalam bumi adalah darah atau air susunya. Bumi yang memampukan
manusia untuk ada dan menjamin kehidupan tumbuh-tumbuhan dan segalanya yang ada
di bumi. Menutur mitos yang berkembang dalam masyarakat Lamaholot, bumi
diyakini sebagai tanah dari langit. Ia adalah juga satu sosok wanita cantik
yang disebut Nini atau Nini dayang (ibu). Kecantikannya ini
memikat hati cakrawala; pria tampan dan perkasa. Hubungan mereka berpuncak pada
pernikahan. Pernikahan ini memberikan kesuburan kepadanya sehingga di bumi
bergelimangan tumbuh-tumbuhan yang memberikan kehidupan bagi manusia.
Karena kehidupan manusia amat bergantung
pada Nini maka manusia diwajibkan
memberikan penghormatan kepadanya. Penghormatan-penghormatan tersebut terangkum
dalam serangkaian norma yang mengatur cara manusia mengolah tanah atau bumi. Apabila
serangkaian aturan itu tidak dijalankan maka bumi bisa menjadi marah dan
memakan manusia. Sehingga dalam masyarakat Lamaholot dikenal satu ungkapan ini “Tana Ēkan ga ro – Hendaklah bumi
memakannya” apabila manusia tidak
memberikan penghormatannya terhadap tanah.
Konsep masyarakat Lamaholot tentang
tanah dan teknik bertanam juga dipengaruhi oleh mitos tentang Tonu Wujo (dewi padi). Mitos ini dalam
persebarannya memiliki variasi. Akan tetapi, inti dari kisah ini ialah kisah
tentang seorang gadis yang mengurbankan dirinya agar keluarga memperoleh lahan
pertanian yang subur dan berkecukupan pangan. Tuno Woju diyakini pula sebagai pemberi kesuburan dan kehidupan
kepada tumbuh-tumbuhan.
2.1.2 Ritus Berkebun Masyarakat Lamaholot
Dengan mitos-mitos yang dihidupi ini
maka masyarakat Lamaholot membangun teknik berkebun yang terampung dalam ritus-ritus
tertentu. Sebagai sebuah awasan untuk
kita bahwa ritus-ritus yang hendak dijelaskan ini merupakan keterwakilan dari
sejumlah ritus yang ada dalam masyarakat Lamaholot, khususnya suku-suku di
wilayah Eputobi, Flores Timur. Ritus-ritus yang dijelaskan ini pula pada
dasarnya hammpir mirip dengan wilayah-wilayah lain. Perbedaannya terletak pada
variasi istilah digunakan untuk satu ritus tertentu. Di wilayah Eputobi dikenal
beberapa ritus berikut ini:
1.
Belo Bulung (Pemberian
Tanda)
Ada dua tahap penting
yang harus dilewati dalam ritus ini yakni tahapan penentuan tanah dan tahap belo belung itu sendiri.
a. Penentuan
Lahan
Dalam
tahap ini peran seorang kabelen (pemuka
kampung yang adalah juga tuan tanah dan pemilik tanah) amat menentukan. Dialah
yang menjadi pelaku pertama dan utama dalam penentuan lahan-lahan yang hendak
dikerjakan.
Untuk
bisa memperoleh tanah sebagi lahan yang hendak dijadikan ladang, pertama-tama
semua orang yang hendak membuka kebun berkumpul di rumah kabelen untuk mengadakan proses pembagian tanah. Tanah-tanah yang
hendak dibagikan ditentukan melalui ritus-ritus yang sesuai menurut adat
setempat.
Tuan
tanah berhak penuh untuk mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan di ladang
beserta pesta-pesta, upacara-upacara, dan persembahan-persembahan yang harus
diadakan mulai dari penebangan pohon sampai panen. Menurut luasnya, dapat
dibedakan empat jenis berladang: nika
leun,nika dorin, kebang mapang, dan mang anang. Biasanya pembagian tanah
ini ditentukan oleh kabelen berdasarkan nama tahun menurut adat dari tahun
tersebut. Nama ini berbeda untuk setiap tahun tanam. Kabelen menyebut nama
kebun dan orang yang berhak atas newa[2].
b. Belo
Bulung (Memberi Tanda)
Ritus ini dilaksanakan setelah setiap
orang mendapat pembagian tanah dari kabelen.
Belo berarti potong dan bulung berarti memberi
tanda dengan daun sebagai tanda milik. Misalnya orang memberi tanda pada
berkas kayu yang disimpan dipinggir jalan sebagai tanda bahwa itu milik orang.
Dalam konteks ini belo-bulung berarti
memberi tanda di kebun dengan daun-daun yang menyatakan bahwa di tempat itu
akan dibuka kebun baru. Setiap orang yang ingin membuka kebun baru di tempat
itu memotong ranting dan ditempatkan di pada lahan yang akan menjadi kebun
baru. Ritus belo bulung ini dilakukan
dengan bertolak dari suatu kebiasaan masyarakat untuk memberi tanda pada apa
yang menjadi hak miliknya agar tidak diambil oleh orang lain.
Sebelum seseorang beranjak ke kebun
untuk melaksanakan ritus ini terlebih dahulu harus diadakan suatu upacara di
rumah adat. Di sini dibuat suatu perencanaan untuk membuka kebun baru. Rencana
ini biasanya dibuat oleh kelake dan kebelen. Kelake[3]
adalah orang tua-tua. Pengertian
kelake lebih luas dari kabelen. Kelake sebenarnya
adalah para pemimpin rohani dan terdiri dari orang tua-tua.
Setiap upacara yang terjadi di rumah
adat selalu didahului dengan doa. Doa ini disebut marang [4]
yang tersusun dalam bentuk puisi yang indah dan menarik. Marang harus disusun dan dipimpn oleh kelake utama yang disebut bapa
imam. Doa yang disusun dan dibawakan pada saat upacara di rumah adat pada
umumnya mengandung dua intensi utama. Yang pertama ditujukan kepada arwah-arwah
untuk meminta bantuan dari mereka selama kegiatan ini berlangsung dan kepada rumah
adat konkretnya kepada kenopa/gading.
Setelah ritus di rumah adat berakhir, semuanya berarak menuju lokasi yang
menjadi calon kebun dan mulai diadakan pembagian oleh kabelen. Sistem pembagian yang dilakukan biasanya ditentukan oleh
jenis tahun dalam musim tanam tersebut. Setelah pembagian tersebut selesai, setiap
orang pun mulai bekerja menurut bagian-bagian yang telah dibagikan kepadanya.
2. Bakar
Kebun
Membakar kebun yang
baru dibuka juga merupakan suatu tahap penting dalam sistem berkebun masyarakat
Lamaholot. Kebun yang baru saja dibuka menurut kepercayaan masyarakat setempat
perlu dibakar agar dapat memberikan hasil yang memuaskan. Pohon-pohon yang
telah ditebang dibakar. Merahnnya api dalam pembakaran kebun tersebut
melambangkan darah Tonu Woju yang
tertumpah, yang memberikan kesuburan bagi kebun tersebut tersebut.[5]
Dalam masyarakat awal,
tahapan membakar kebun ini dijalankan dengan ritus khusus yang semuanya masih
sangat tradisional dan masih berpegang teguh pada adat. Akan tetapi, pada zaman
sekarang ritus-ritus semacam ini kurang diperhatikan lagi. Misalnya dalam hal
sumber api untuk pembakaran kebun. Tradisi nenek moyang menggunakan bambu yang
oleh masyarakat setempat dinamakan “kenehe”
(bambu yang digosok sekian sampai menghasilkan api) untuk membuat api sedangkan
sekarang orang menggunakan korek api atau pun pemantik. Kenyataan ini
memperkuat argumen bahwa budaya dari hari ke hari mengalami penurunan nilai.
Ritus pembakaran kebun
biasanya dilaksanakan pada bulan September dan Oktober. Bulan-bulan ini curah
hujan masih sangat kurang sehingga ritus ini bisa dilaksanakan dengan baik.
3.
Tanam
Ritus menanam padi
dimulai dengan mempersiapkan bibit yang akan ditanam. Persiapan bibit ini juga
melalui suatu ritus khusus, yakni mengurbankan hewan sebagai suatu bentuk
penghormatan kepada dewi padi atau oleh masyarakat setempat dikenal dengan Tonu Wujo. Akan tetapi dalam
kenyataannya, ritus ini kurang diperhatikan di semua wilayah yang bernaung di
bawah rumpun Lamaholot. Hanya ada daerah-daerah tertentu saja yang masih
memegang teguh ritus ini.
Seusai semua ritus
selesai dijalankan, orang mulai menanam padi di lahan yang telah disiapkan sebelumnya. Dalam
menanam padi juga masih ada beberapa ritus atau pantangan yang harus
diperhatikan, seprti pada malam hari orang tidak boleh berjalan dengan memeakai
penerangan atau membawa suluh ketika berjalan ke rumah orang lain dan meminyaki
rambut pada malam hari. Selai itu dilarang pula meludahkan siri pinang di
tengah jalan, membiarkan kulit buah pinag terletak terbuka di tanah, menyanyi,
membakar sesuatu di luar rumah, memakai suluh pada waktu mengail, mandi dan
bermain di dalam laut, membunuh tikus, dan menjemur kayu atau kain berwarna
putih. Pantangan ini berlaku sejak mulai menanam sampai padi menguning. Maksud
utama dari larangan-larangan ini adala agar arwah orang mati menyangka bahwa di
kampung sedang dirayakan pesta. Menurut kepercayaan arwah orang mati akan
datang untuk mengikuti pesta di kampung. Namun dalam kenyataan tidak terjadi
pesta. Hal ini membuat arwah nenek moyang kecewa dan membalas dendam terhadap
warga kampung yang menyata dalam gagal panen, atau wabah penyakit, dan
lain-lain.[6]
4.
Panen
Ketika hendak memetik
atau memanen hasil kebun selalu didahului dengan ritus-ritus. Misalnya untuk
masyarakat Lewo Lein (Solor), sehari sebelum memetik hasil ladang, kelen (tuan tanah) dan semua yang
lainnya harus terlibat dalam kegiatan seperti pergi menangkap ikan di laut.[7]
Ketika hari untuk panen
tiba, tuan tanah dan beberapa orang lainnya membawa lima bakul dan memetik padi
dan memasukan ke dalam kelima bakul itu. Dengan itu, kegiatan panen dimulai.
Kelima bakul yang berisikan padi baru itu, harus selalu ada di kebun setiap
hari selama masa panen. Sebelum memulai panen,orang terlebih dahulu telah
membangun kebang (lumbung) atau
memperbaiki yang telah dibangun pada musim tanam sebelumnya sebagai tempat
untuk menyimpan semua hasil panen. Setelah semuanya siap orang mulai mengadakan
panen. Pada saat ini, diadakan persembahan hada
tuak orin one (menghidangkan tuak dalam pondok) dan mengurbankan hewan
sebagai penghormatan dan menggembirakan Tonu
Wujo yang telah memberikan keberhasilan panen. Semua hasil panen ini
disimpan di dalam kebang atau lumbung. Ritus merupakan ciri khas dalam mitos Tonu Wujo. Lumbung mengungkapkan
kedekatan atau situasi ada bersama Tuno
Wujo dengan saudara-saudarinya,
dalam hal pemilik panenan. Kesuburan yang dimiliki akan senantiasa tinggal
bersama kebun atau ladang tersebut.
Sesudah dua atau tiga
minggu, diadakan lagi suatu persembahan di ladang yang disebut ”uten puken lakan rekan, nerak tua taa lapak
toda male”[8] dengan maksud agar padi dipotong
perlahan-lahan, agar semua jiwa tidak beranjak pergi dan dengan itu hasil pun
akan berlimpah-limpah. Dalam ritus ini harus diperhatikan pula beberapa
larangan berikut: pada saat pesta panen orang tidak boleh minum tuak hingga
mabuk dan tidak boleh mengadakan keributan agar tidak terjadi kecelakaan. Orang
yang bersalah akan dihukum. Apabila karena peristiwa itu kedua gadis itu takut
dan menangis maka kepada masing-masing mereka diberikan sehelai pakaian panjang
dan dua puluh buah gelang gading. Tiang-tiang pondok tidak boleh ditetak, tidak
boleh diketuk pada salah satu bagiannya, dan tidak boleh ada gaduh di
sekitarnya. Karena itu Tonu Wujo akan lari dan terpaksa tinggal
di batu-batu besar dan pohon-pohon yang besar. Jika terjadi demikian maka Tonu Wujo harus diajak kembali ke
tempatnya dengan satu persembahan, di mana diletakan satu ketupat, satu butir
telur, dan satu batang gading dekat satu batu atau pohon besar dan sesudah itu
orang berdoa agar Tonu Wujo bisa
kembali.
2.2 Ritus Berkebun Masyarakat Manggarai
2.2.1 Konsep Masyarakat Manggarai tentang
Tanah
Tanah adalah tempat manusia tinggal dan
memperoleh hidup. Tanah menjadi bagian dari identitas diri manusia. Keutuhan dan
kesejatian diri manusia mengandaikan manusia berada di atas tanah. Hanya di
atas tanah manusia boleh berjuang untuk mengatur, mempertahankan hidup dan
memperoleh kehidupan. Tanah dari segi ekonomi bisa memberikan makanan, minuman
dan juga pakaian (tana ata teing ite mose
agu wengko weki). Dari segi
politis, tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan
bersama. Karena itu, tanah bisa menjadi faktor penentu struktur kepemimpinan
dalam masyarakat. Misalnya penentuan gelar Tua
Golo[9] (kepala
kampung) hanya diberikan kepada orang yang memiliki banyak tanah. Selain itu
dari segi rohani, tanah mempunyai nilai sakral yakni sebagai tempat kediaman
terakhir dan tinggal pemberi kehidupan (ata
teing mose). Jadi tanah seturut
konsep masyarakat Manggarai mempunyai nilai yang sangat signifikan bagi
manusia. Selain memberikan identitas bagi manusia tanah juga memberikan
pelegitimasian kekuasaan seseorang atau suku tertentu.
Tanah
bukan merupakan objek pasif yang dapat diperlakukan sewenang-wenang oleh
manusia. Tanah memiliki roh (ata lami
tana) dimana roh ini turut
memberikan andil dalam usaha manusia atas tanah. Roh tanah bisa menguntungkan
manusia juga bisa menghancurkan manusia. Apabila usaha manusia atas tanah
direstui oleh roh tanah maka akan menuai hasil yang berlimpah, sebaliknya kalau
roh tanah tidak merestui manusia maka akan kegagalan panen atau kematian
menjadi bencana bagi manusia.
Demi
menghindari kemarahan roh tanah (ata lami tana) atau untuk mendapat restu
roh tanah maka setiap kali melakukan usaha yang berkaitan dengan tanah harus
didahului oleh ritus adat yang disebut tegi
gawas nai (minta persetujuan) entah itu usaha membangun rumah atau membuka
kebun. Roh tanah diberi makan. Sesajian yang digunakan adalah telur ayam
kampung sebagai simbol permohonan perlindungan dan lambang kesuburan.[10]
Dari
konsep pemikiran seperti ini, masyarakat Manggarai kemudian menciptakan ritus
berkebun seperti yang akan dijelaskan berikut ini.
2.2.2 Ritus Berkebun Masyarakat Manggarai
Pemikiran
masyarakat Manggarai tentang tanah seperti yang telah dijelaskan di atas nampak
jelas aplikasinya dalam cara berkebun. Dalam berkebun masyarakat Manggarai tidak
terlepas dari ritus-ritus adat. Ada dua bentuk kebun (uma duat) masyarakat Manggarai, pertama Uma Tingkul (kebun hasil garapan pribadi, bukan tanah ulayat) dan kedua
Uma Lodok (kebun ulayat, kebun
bersama). Uma Lodok ini wajib
dimiliki oleh semua warga kampung yang sudah dewasa/berkeluarga. Dalam urusan
ritus-ritus adat kedua bentuk kebun ini tetap sama. Namun ada beberapa hal pula
yang membedakan keduanya seperti kalau untuk Uma Tingkul dalam ritus adatnya dihadiri oleh pemilik kebun itu
sendiri sedangkan Uma Lingko/Lodok dihadiri
oleh seluruh warga kampung dan undangan dari kampung tetangga.[11]
Keterlibatan
seluruh warga kampung dan para undangan dari kampung tetangga dalam upacara
adat di kebun bersama (uma lingko)
sangat penting sebagai saksi mata keabsahan uma
lingko itu sekaligus memperkokoh keberadaan kampung yang membuka uma lingko itu. Dalam kaitan dengan ini,
muncul istilah Manggarai beo one lingko
peang (kampung di dalam kebun bundar di luar) sebagai satu-kesatuan tata
ruang budaya. Jadi, uma lingko merupakan
salah satu syarat legalitas adat akan masyarakat dalam kampung.[12]
Dalam
menggarap uma lingko selalu diawali
dengan Lonto Leok (musyawarah
bersama) untuk menetapkan tempat di
mana uma lingko itu yang tepat
sekaligus mendata siapa-siapa yang berhak mendapat bagian di dalamnya.
Ada beberapa tahap yang dilalui masyarakat
Manggarai dalam berkebun beserta ritus adatnya setelah kesepakatan mengenai
tempat dan anggota tercapai.
a.
Penancapan Kayu
Teno oleh Tu’a Teno di tengah Lingko
Upacara
ini diawali dengan ritus adat tegi gawas
nai (minta persetujuan roh penghuni wilayah itu). Seekor babi dan ayam
dijadikan korban dalam ritus ini dan biasanya juga disertakan dengan toto dara manuk (membaca darah ayam
tentang apa yang akan terjadi dengan lingko yang mau dibuka; soal memberikan
hasil yang baik atau tidak kepada pemiliknya di kemudian hari). Intensi dari
upacara ini adalah mohon persetujuan dan mohon perlindungan roh tanah serta
mohon rejeki rejeki darinya. Upacara ini dipimpin oleh seorang tua teno.
Menurut
pengertian etimologis tua teno berasal
dari kata tua yang berarti tua,
kepala atau ketua dan teno yang berati kayu sehingg tua teno
berarti kayu kepala. Pengertian ini bersifat simbolis karena biasanya kayu teno dipakai untuk kayu Lodok kebun (pusat kebun) dan yang
mempunyai wewenang untuk tente teno
(menancapkan kayu Teno). Kayu teno adalah salah satu kayu yang bentuknya lurus
dan hidup di daerah yang subur. Hal ini melambangkan kepribadian tua teno yang
jujur dan bijaksana. Pemilihan tua teno ini berdasarkan masyarakat mana yang
terbesar dalam kampung. Dari anggota suku itu dipilih seorang yang dianggap
bijaksana oleh warga sukunya sendiri. Warga suku mesti memilih orang yang tepat
agar suku itu tetap harum namanya.
Setelah kayu
teno ditancap di tengah-tengah lingko
ditarik garis sebanyak warga yang akan menerima kebun baru itu, sehingga
bentuknya seperti jejaring laba-laba. Bagian-bagian ini disebut anak moso.
Panjang kebun ditentukan oleh tua teno.
Setelah pembagian itu tua teno,
dengan menggunakan otoritasnya membagi setiap anak moso untuk membuat pagar keliling lingko. Pembagian ini dilakukan secara adil. Lingko diukur kemudian dibagi kepada setiap anak moso. Pada kesempatan inin disepakati pula sanksi untuk mereka
yang tidak serius mengerjakan pagar keliling lingko. Setelah pembagian ini jelas dan selesai, semua orang yang
telah memperoleh bagian tanahnya mulai bekerja dan tua teno berhak menegur setiap anak
moso yang lamban dalam bekerja.
b.
Tanam (Weri Wini)
Upacara
penanaman kebun disebut juga deko cekeng (menangkap
musim). Upacara ini dilakukan oleh masing-masing pemilik kebun. Ritus ini biasa
dibuat sendiri oleh pemilik kebun karena upacara ini lebih mengutamakan
hubungan (permohonan pribadi) pemilik tanah dengan Mori Kraeng. Sesajian yang digunakan adalah ayam jantan putih
sebagai lambang penyerahan diri. Doa yang biasa diucapkan pada ritus ini adalah
lalong bakok du lakon porong lalong
rombeng du kolen (ayam putih kami beri semoga ayam burik berbulu indah kami
dapat nanti). Ayam burik berbulu indah simbol keberhasilan. Doa ini juga biasa
diucapkan dalam upacara wuat wai (upacara
perutusan).
Penanaman kebun ini biasanya dilakukan secara gotong
royong dengan tetangga kebun yang disebut rambe.
Dalam rambe ini pemilik kebun
dituntut untuk memberi makan tiga kali (pagi, siang, malam) mereka yang menanam
di kebunnya dengan cara mengantar makanan dari rumah ke rumah kecuali makan
siang karena dilaksanakan di kebun. Ritus ini sebagai simbol kemurahan hati
dari pemilik kebun. Bagi suku manggarai orang yang berhak mendapat berkat
adalah orang yang murah hati. Mori Kraeng
hanya berkenan kepada orang yang rendah hati.
c.
Naang Banta
Tanaman utama dalam kebun masyarakat Manggarai
adalah padi dan jagung. Upacara naang
banta dibuat setelah panen jagung dan biasanya padi waktu itu mulai
berbunga. Upacara ini dilakukan secara lingko
(bersama-sama) dan dihadiri oleh semua warga kampung dari yang kecil sampai
yang tua serta para undangan. Upacara ini juga biasa disebut baro gejur (syukur hasil). Sesajian yang
digunakan adalah kambing dan setiap anak
moso wajib membawa dua ekor ayam. Semua binatang sembelihan ini wajib
dimakan habis di tempat acara, karena hewan sembelihan ini sesungguhnya
diperuntukan bagi pemilik tanah (roh tanah), nenek moyang dan semua roh yang
telah membantu menjaga lingko. Karena itu tidak diperkenankan bawa pulang ke
rumah.
Intensi dari upacara ini adalah syukur atas jagung,
sayur-sayuran dan lain-lain yang telah dipanen sekaligus mohon berkat,
perlindungan atas padi yang masih
berbunga. Pada kesempatan ini juga tua
teno menyampaikan secara tegas segala hal yang perlu diperbaiki bersama
misalnya perbaikan pagar keliling lingko. Juga memberikan hukuman (denda) bagi mereka yang telah melanggar
kesepakatan sebelumnya, misalnya tidak melakukan salah satu ritus adat yang
mestinya dilakukan.
d.
Ako Woja (Mengetam Padi)
Upacara ini dilakukan pada hari pertama mulai
mengetam dan dilakukan secara masing-masing. Binatang sembelihan adalah ayam
(tidak ada ketentuan warna bulunya). Intensi dari acara ini adalah syukur untuk
pemeliharaan padi sehingga boleh dipanen sekaligus mohon bantuan perlindungan
agar padi yang telah menguning ini bisa kami panen dan masuk ke lumbung kami.
Acara ini penting karena masyarakat manggarai percaya bahwa ada satu roh jahat
yang bergentayangan saat musim mengetam yang bisa memindahkan isi bulir padi ke
kebun orang lain. Karena itu, walaupun bulir padi kita bersih tidak menjamin
hasil yang banyak kalau tidak dilindungi. Acara ini biasa disebut ker sai mawo (memanggil roh padi agar
tidak mengikuti tuntutan roh jahat tadi).
e.
Randang Lingko
Randang lingko merupakan upacara puncak dari uma lingko. Upacara ini sebagai tanda
pengesahan lingko (tanah ulayat).
Biasanya dilaksanakan secara besar-besaran dan dipertunjukkan tarian-tarian
adat seperti caci, sanda, dan lain-lain. Hewan kurban yang digunakan adalah
kerbau dan dilaksanakan di kampung bukan di lingko lagi. Upacara ini mesti
diketahui oleh warga kampung sebelah sebagai saksi mata bahwa lingko yang telah
dikerjakan telah menjadi milik kampung yang menyelenggarakan randang itu.
Lingko menjadi bagian dari tata ruang budaya manggarai karena itu, keberadaan
lingko ini perlu diketahui oleh warga kampung lain, agar kampung tetangga tidak
mengklaim lingko yang telah dikerjakan itu.
Upacara ini juga bertujuan untuk bersyukur kepada
semua roh dan Mori Kraeng yang telah
menjaga dan memelihara mereka selama menggarap tanah lingko itu, sekaligus memohon maaf atas segala kekeliruan yang
telah dilakukan baik kepada para roh maupun terhadap sesama. Karena itu, dalam
acara randang ini dilakukan juga acara maaf-maafan.
III. Penutup
Dengan
menyimak seluruh isi dari pembahasan tentang ritus berkebun masyarakat
Lamaholot dan Manggarai ini, ada beberapa hal penting yang bisa kita simpulkan.
Pertama; baik di Lahamaholot maupun
Manggarai menjalan ritus berkebun yang bersifat magis religius. Dalam kegiatan
berkebun mereka semacam menyelenggarakan suatu pemujaan luar besar terhadap
penguasa bumi atau dunia ini. Oleh karena itu, kegiatan berkebun juga dapat
dikatakan kegiatan yang bersifat sakral. Karena sakral maka berbagai ketentuan
utama yang berlaku harus dilaksanakan. Kedua;
baik masyarakat Lamaholot maupun Manggarai mempunyai ketergantungan yang sangat
tinggi terhadap tanah dan berkebun menjadi suatu bidang kerja yang penting.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila di Flores Timur dan Manggarai
ketika muncul pertambangan-pertambangan masyarakat dari kedua tempat ini
menolaknya. Pertambangan menjadi sesuatu yang sangat tidak biasa dan bukan
merupakan kekhasan. Pertambangan bisa menghilangkan ritus sakral ini. Itu
berarti mengakhiri pula kekhasan budaya asli kita. Ketiga; masyarakat Lamaholot dan Manggarai teah menunjukkan kepada
kita bagaimana berperilaku layak dan wajar dengan lingkungan hidup. Lingkungan
hidup juga memiliki jiwa yang harus disayangi. Ia pun bisa marah kalau kita
mengecewakannya. Namun satu hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa sikap
mengasihi lingkungan hidup jangan sekali-kali berimbas pada mengorbankan hak
asasi manusia. Seperti yang dijelelaskan tadi bahwa ritus-ritus yang diturunkan
oleh nenek moyang itu tidak seluruhnya dilaksanakan mengingat situasi dunia
yang sudah sangat berkembang dan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaanya
lainnya. Lalu seperti apakah nanti penghargaan kita kepada lingkungan hidup ini
diwujudkan? Itulah pekerjaan bagi kita.[13]
Tetaplah berdiri pada prinsip Save our
Earth is Save our Soul.
DAFTAR BACAAN
Arndt,
Paul. 2003. Falsafah dan Aktivitas Hidup
Manusia di Kepulauan Solor. Seri Etnologi Candraditya, No.5. Maumere : Puslit
Candraditya.
Dorodae,
Ansel. 2009. Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Manuskrip).
Koentjaraningrat.
2004. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Nggoro,
Adi M. 2006. Budaya Manggarai Selayang
Pandang. Ende : Nusa Indah.
P
dan K, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya. 1977-1978. Geografi Budaya Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta : Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
[5] Paul
Arndt, Falsafah dan Aktivitas Hidup
Manusia di Kepulauan Solor. Seri Etnologi Candraditya, No.5, (Maumere:
Puslit Candraditya, 2003), hlm.188.
[10] Telur
yang digunakan adalah yang terbaik dan merupakan telur pertama yang ditelurkan
oleh ayam kampung tersebut (ruha rana).
Simbol perlindungan terlihat pada putih telur yang senantiasa melindungi bagian
kuningnya. Sedangkan simbol kesuburan nyata dalam telur terbaik dan yang
pertama yang dipilih itu.
[13] Koentjaraningrat,
Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan,
(Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 41-49.
OLEH : EXCEL, OLU, REMI, KEDJO, THALVES, & OCEPH
Komentar