DISKRIMINASI KAUM PEREMPUAN SEBAGAI SEBUAH UPAYA PEMBAKUAN PERAN GENDER

DISKRIMINASI KAUM PEREMPUAN SEBAGAI SEBUAH UPAYA PEMBAKUAN PERAN GENDER
(Sebuah Refleksi Atas Minimnya Keterwakilan Kaum Perempuan dalam Kepemimpinan Publik)
Oleh: Oceph Namang
*Penulis adalah Alumnus STFK Ledalero; Mengajar di SMA PGRI Lewoleba-Lembata




Memerangi ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan selalu menjadi tema menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang kemasyarakatan di masa mendatang. Sejarah manusia dalam memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan analisis dan teori sosial yang hingga saat ini masih tetap berpengaruh dalam membentuk sistem kemasyarakatan umat manusia. Dari berbagai gugatan terhadap ketidakadilan tersebut, terdapat satu analisis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin. Analisis yang dimaksud adalah analisis gender, suatu analisis yang menjadi alat bagi gerakan feminisme.
Gerakan untuk memerangi ketidakadilan sosial ini sudah sejak lama dilakukan, akan tetapi kesetaraan dalam relasi antar manusia belum mencapai tahap ideal. Dalam masyarakat masih dijumpai banyak ketidakadilan yang menimpa kaum marginal, seperti kaum miskin, perempuan, anak-anak, dan lain-lain. Perempuan sebagai bagian dari kaum tersisih, masih mengalami subordinasi, diskriminasi, pelecehan, marginalisasi, kekerasan, dan lain-lain, baik dari segi fisik maupun psikis batiniah. Tindakan-tindakan ini terjadi di wilayah publik dan domestik yakni; pribadi, keluarga, tempat kerja, masyarakat, negara, budaya, maupun agama.
 Penderitaan dan ketidakadilan yang dialami perempuan ini sebagai ekses dari peneguhan ideologi gender di masyarakat. Ideologi ini kemudian mendapat peneguhan dan dilegitimasi oleh tradisi, adat istiadat, budaya, bahkan agama. Ketimpangan ideologi ini diwariskan dari generasi ke generasi oleh budaya dominan dan hegemonik yakni budaya patriarkhi. Kultur maskulin dengan nuansa male telah menghilangkan kultur feminim yang bernuansa kedamaian dan anti kekerasan. Kenyataan ini sekaligus menempatkan perempuan dalam posisi lemah dan dilemahkan. Keterpurukan posisi ini telah mematikan potensi dan keunggulan serta jati diri perempuan sebagai manusia. Posisi ini membatasi kebebasan kaum perempuan dalam mengekspresikan diri sebagai seorang pribadi yang utuh. Lewat sistem budaya terjadi proses stigmatisai terhadap kaum perempuan sebagai the other, dan objek. Hal ini sudah berlangsung cukup lama dan cukup intensif bahkan kaum perempuan sendiri tidak menyadari telah melakukan pengukuhan-penngukuhan atas posisi biner tersebut.
Perjuangan persamaan hak kaum laki-laki dan perempuan, sudah sejak lama diperjuangkan oleh banyak tokoh baik para pejuang perempuan maupun para teolog feminis dan juga lembaga-lembaga sosial lainnya. A. Nunuk P. Murniati salah seorang teolog feminis Indonesia dalam penelitiannya mengatakan bahwa hubungan perempuan dan laki-laki di Indonesia masih didominasi oleh ideologi gender yang membuahkan budaya patriarkhi. Budaya ini tidak mengakomodasikan kesetaraan, dan keseimbangan sehingga perempuan menjadi tidak penting untuk diperhitungkan. Budaya ini cendrung mendewakan kaum laki-laki dan merendahkan perempuan dalam berbagai hal. Sebagai akibatnya kaum perempuan disepelehkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Diskriminasi Kaum Perempuan Sebagai Upaya Pembakuan Peran Gender
Pendiskriminasian kaum perempuan juga merupakan akibat lebih lanjut dari suatu pandangan yang berakar dalam masyarakat patriarkat yang menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua, yang kepentingannya dianggap medompleng keputusan kaum lelaki. Dalam dunia modern streotype yang memojokkan perempuan masih terasa kukuh. Streotype ini  disadari atau tidak telah terinternalisasi ke dalam cara berpikir masyarakat pada umumnya. Hal itulah yang menjelaskan mengapa kaum perempuan tetap dan masih mengalami berbagai bentuk ketidakadilan, sikap subordinatif, marginalisasi, kekerasan, pelecehan atau perlakuan negatif lainnya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Bentuk dari ketidakadilan terhadap kaum perempuan ini nampak dalam berbagai bentuk seperti; marginalisasi, streotip, subordinasi, beban ganda, dan kekerasan terhadap kaum perempuan.(bdk. Mansor Fakih: Analisis Gender dan Transformasi Sosial)
Pertama, marginalisasi terhadap perempuan. Di sini kaum perempuan digeser atau ditempatkan di pinggiran dan dicirikan sebagai yang lemah, kurang atau tidak rasional, kurang atau tidak berani, sehingga tidak pantas atau tidak dapat memimpin. Akibatnya perempuan selalu menjadi makhluk nomor dua. Marginalisasi perempuan dapat terjadi dalam berbagai bidang seperti; dalam negara, pimpinan birokrasi tidak pernah dipercayakan kepada kaum perempuan dianggap tidak mampu. Dalam masyarakat, perempuan diikutsertakan dalam proses pembangunan tetapi tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Mereka hanya melaksanakan hasil keputusan laki-laki. Dalam hal pekerjaan perempuan dinomorduakan karena dianggap kurang produktif. Dalam keluarga pun perempuan dinomorduakan dalam berbagai hal.
Kedua, streotip masyarakat terhadap perempuan. Streotip ini muncul karena adanya suatu pembakuan diskriminatif antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sudah dibakukan sifat yang sepantasnya, sehingga tidak mampu keluar dari kotak definisi tersebut.
Ketiga, subordinasi terhadap perempuan. Pandangan ini memposisikan perempuan dan karya-karyanya lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan dianggap kurang mampu. Pandangan ini membuat kaum perempuan merasa diri tidak berarti dan tidak berani memperlihatkan kemampuannya sebagai pribadi.
Keempat, beban ganda. Pandangan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, mengakibatkan semua pekerjaan domestik rumah tangga dilimpahkan kepadanya. Konsekuensinya, banyak perempuan yang harus bekerja keras. Selain itu, perempuan juga dapat memiliki beban kerja ganda jika ia juga bekerja di luar rumah.
Kelima, kekerasan terhadap kaum perempuan(bdk. Mansor Fakih). Kekerasan terhadap kaum perempuan adalah suatu upaya pengukuhan peran gender dalam kehidupan bermasyarakat. Ada beberapa jenis kejahatan yang dapat dikategorikan dalam kekerasan gender antara lain:
Pertama, Bentuk pemerkosaan terhadap kaum perempuan termasuk perkosaan dalam perkawinan. Tindakan ini terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan.
Kedua, Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence).
Ketiga, Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation), seperti penyunatan terhadap anak perempuan.
Keempat, Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan kekerasan terhadap kaum perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja sseksual ini. Di satu sisi pemerintah melarang dan merazia mereka tetapi di lain pihak negara juga menarik pajak dari mereka.
Kelima, Kekerasan dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik yakni menjadikan tubuh perempuan sebagai objek demi keuntungan seseorang.
Keenam, Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi (enforced sterilization) dalam Keluarga Berencana. Dalam rangka memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali menjadi korban demi program tersebut. Tindakan ini sering kali membahayakan fisik maupun psikis.

Feminisme Sebagai Sebuah Usaha Memperjuangkan Kesetaraan Gender
Christine de Pizan, seorang penyair, pengarang, dan anggota kehormatan istana kerajaan Prancis menulis; “ Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa kaum perempuan termasuk dalam jemaat Allah dan bangsa manusia sama halnya seperti kaum laki-laki, dan mereka bukanlah satu jenis makhluk hidup yang lain atau ras yang berbeda”. Syair bernada puitis ini adalah suara yang bergema dari dalam iklim penindasan. Suara yang tak mau disekap dalam ruang sulapan kaum pria. Kata-kata Pizan yang bernada protes ini mau memproklamirkan bahwa kaum wanita sudah lama disubordinasikan oleh kaum pria secara diskriminatif dan eksploitatif. Mereka menolak sekat-sekat yang dideterminasi oleh masyarakat terhadap diri dan martabat hidupnya dan mau berjuang untuk menuntut partisipasi secara penuh dalam masyarakat dunia.
Simeone de Beauvior pun searah dengan gagasan Pizan. Ia berhasil meneropong kedudukan kaum wanita secara tepat sasar. Perempuan adalah second sex, ia malahan tidak layak disebut dengan kata manusia(Carson,1962:13-14). Pemosisian perempuan sebagai second sex membawa dampak yang sangat besar dalam pembagian kerja dan kehidupan bermasyarakat. Dewasa ini, ada tendensi bahwa hampir setiap negara dan kebudayaan mendiskreditkan kaum perempuan baik di wilayah-wilayah publik maupun privat.
Situasi yang sama juga tengah terjadi di Indonesia, di mana pembagia kerja masih berpatokan pada jenis kelamin. Situasi semacam ini terus mendiskreditkan kaum perempuan dan membatasi kebebasannya untuk mengekspresikan diri sebagai seorang pribadi yang utuh. Situasi penindasan semacam ini terus memancing dan memacu lahirnya gerakan/perjuangan menyetarakan kaum perempuan dan kaum laki-laki dalam segalah hal.
Salah satu gerakan yang terus menjelma menjadi suara yang terus menggema dewasa ini adalah feminisme. Suara kaum feminis semakin keras mengiang di telinga kaum laki-laki. Mereka terus menuntut agar subordinasi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan harus dihilangkan. Dalam benaknya tersimpan konsep bahwa hak mereka mesti disamakan dengan kaum laki-laki dalam segala hal. Dalam gerakan ini ada beberapa hal yang diperjuangkan yakni; Pertama, feminisme berusaha untuk melihat kembali nilai-nilai tradisional dan coba menyadari secara baru nilai/praktik-praktik yang kelihatannya diterima begitu saja dari waktu ke waktu. Feminisme menentang nilai-nilai tradisional menyangkut kedua jenis seks, khususnya nilai-nilai maskulin dan kekuasaan pria dalam masyarakat patriarkat. Kedua, feminisme menentang anggapan bahwa sifat-sifat maskulin lebih penting dari pada sifat-sifat feminim. Di sini feminisme berjuang dan memberi kesempatan kepada wanita untuk mengekspresikan diri secara penuh. Ketiga, feminisme juga mengeritik stratifikasi sosial berdasarkan gender. Mereka mengeritik kenyataan bahwa kaum perempuan tidak mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh pendidikan, pennghasilan, kesempatan kerja atau tanggung jawab yang lebih besar. Keempat, feminisme juga memberikan perhatian pada kehidupan seksual. Dalam masyarakat patriarkat relasi seksual sangat didominasi oleh kaum pria. Hal ini tercermin dalam berbagai pelecehan seksual.

Pelanggaran dan perendahan martabat kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dapat juga ditinjau dari perspektif bahwa ketidakadilan sosial atau pelanggaran dan perendahan martabat kaum perempuan adalah suatu bentuk penyimpangan karena di dalamnya kita telah melanggar norma yang telah ditetapkan yakni semua manusia memiliki hak yang sama. Penyimpangan ini menurut Durkheim disebabkan oleh rendahnya kesadaran pribadi atau anomie untuk mengikuti setiap norma yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Pelanggaran dan perendahan martabat kaum perempuan adalah akibat dari lemahnya kesadaran normatif setiap orang terhadap aturan yang berlaku. Oleh karena itu, untuk menghilangkan segala bentuk pendiskreditan dan diskriminasi perempuan, setiap elemen perlu menyadari bahwa kaum perempuan juga memiliki harkat dan martabat yang sama dengan kaum laki-laki. Sejalan dengan gerakan feminisme, mari kita bersama-sama mengatakan tidak pada pendiskreditan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELIS DALAM BUDAYA LAMAHOLOT

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA : LANDASAN PEMBENTUKAN KARAKTER

FILSAFAT BERKEBUN MASYARAKAT LAMAHOLOT DAN MANGGARAI