KARTINI Vs SISI GELAP PEREMPUAN INDONESIA
KARTINI Vs SISI GELAP PEREMPUAN INDONESIA
(Sebuah
Catatan Pinggir di Hari Kartini)
Oleh
: Oceph Namang
*Penulis adalah alumnus STFK Ledalero, mengajar di SMA PGRI
Lewoleba - Lembata
“Di belakang lelaki yang
kuat selalu ada wanita yang hebat”. Pepatah sederhana ini mau menegaskan
urgensitas peran perempuan dalam kehidupan di dunia. Akan tetapi, ketika kita
mencoba untuk meneropong jauh ke belakang, kita akan menemukan bahwa perempuan
sempat mengalami masa kelam dan menjadi catatan hitam dalam sejarah. Terhitung
ribuan tahun yang lalu ketika manusia sangat minim nilai dan norma, perempuan
dijadikan komoditas yang diperdagangkan. Mereka dipaksa menjadi pemuas hasrat
orang-orang yang memang tidak berpendidikan. Sebagai seorang istri, wanita pada
saat itu biasa ditukar dengan wanita lain untuk memuaskan hubungan seks dan
terhindar dari rasa bosan (Supriyadi, 2008). Hak-hak mereka dirampas, harga
dirinya diinjak dan dilupakan.
Masa-masa yang sulit bagi kaum Hawa di Indonesia mulai terkikis
seiring bergulirnya waktu. Dalam perjalanan waktu muncullah seorang sosok
perempuan tangguh yang siap menerobos batas pengekangan antara kaum laki-laki
dan kaum perempuan. Raden Ajeng Kartini, si perempuan tangguh dari Jepara
muncul dengan semboyan “Habis Gelap, Terbitlah Terang”. Berpayung di bawah
semboyan ini, Kartini berjuang melawan kemapanan budaya pembelengguan perempuan
untuk beralih kepada sebuah budaya penyetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Semboyan habis gelap erbitlah terang sebenarnya muncul setelah terjadi pergelutan
dalam kegelisahan berhadapan dengan situasi saat itu. Semboyan ini sebenarnya
merupakaan wujud ungkapan seorang wanita yang rindu terhadap kebebasan dari
bayang-bayang stratifikasi sosial berdasarkan jenis kelamin. Di mana dalam
stratifikasi berdasarkan jenis kelamin, kaum perempuan selalu ditempatkan pada
posisi nomor dua di bawah kaaum laki-laki. Budaya yang berkembang juga
memposisikan wanita di belakang laki-laki, sehingga menciptakan kesempatan
terjadinya penindasan. Selain itu, dogma agama juga seringkali disalah artikan.
di mana seolah-olah terjadi pembenaran bahwa kaum hawa (perempuan) harus berada
di belakang kaum adam (laki-laki) dalam segala aspek kehidupan. Hal ini
bertolak dari kisa penciptaan di mana wanita diciptakan setelah laki-laki.
Selain itu, wania juga kadang diaggap sebagai sumber dosa bertolak dari kisah
kejatuhan adam dan hawa, di mana Hawa-lah yag menggoda Adam untuk jatuh ke
dalam dosa. Padahal jika ditafsir secara baik, sebenarnya laki-laki dan
perempuan harus berada pada posisi yang sederajat karena perempuan diciptakan
dari tulang rusuk laki-laki.
Berbicara soal emansipasi wanita di Indonesia, tidak bisa lepas
dari sosok R. A. Kartini. Sosok kelahiran Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21
April 1879. Beliau menjadi peletak dasar emansipasi wanita di Indonesia.
Terlahir dari rahim keluarga bangsawan yang sangat taat pada adat istiadat, ia
tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang berikutnya setelah tamat
Sekolah Dasar. Karena taat pada budaya, maka setelah tamat Sekolah Dasar ia
langsung dipingit (dikurung) sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Sungguh
memprihatinkan nasib perempuan di kala itu. Karena itu, untuk menghilangkan
kesedihannya, Kartini kemudian mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku-buku
ilmu pengetahuan lainnya untuk dibaca di taman rumah. Membaca pun akhirnya
menjadi kegemarannya. Bagi kartini setiap hari harus dilaluinya dengan membaca,
membaca, dan terus membaca. Bagi dia, tiada hari tanpa membaca. Melalui
buku-buku, Kartini merasa tertarik dengan kemajuan berpikir perempuan Eropa
(Belanda). Melalui buku pula, Kartini kemudian tertarik untuk memajukan
pemikiran perempuan Indonesia. Perempuan tidak hanya di dapur tetapi harus
mempunyai ilmu. Cita-cita ini dimulai dengan mengumpulkan teman-teman perempuan
untuk diajarkan menulis, membaca, dan ilmu pengetahuan lainnya. Ketekunan dan
keberaniannya kemudian berbuah manis yakni berhasil mendirikan sekolah
perempuan.
Langkah yang diambil oleh Kartini telah membuka lebar jalan kaum
perempuan untuk menyamakan statusnya dengan kaum pria. Seruan-seruan emansipasi
yang didengungkan organisasi wanita awal abad ke-19 kemudian memicu
terselenggaranya Kongres Perempuan di akhir tahun 1928. Kongres ini menandai
kemerdekaan kaum perempuan Indonesia. Semangat Kartini seakan menjadi alat ukur
perempuan Indonesia saat ini. Indonesia telah memiliki banyak perempuan cerdas.
Hal ini disebabkan karena kaum perempuan telah lebih bebas mengenyam pendidikan
sehingga membuat wawasannya semakin luas.
Wanita adalah katalis perubahan, karena di belakang lelaki yang
kuat selalu ada wanita yang hebat. Hal ini mau menunjukkan bahwa sesungguhnya
lelaki harus didukung oleh perempuan di belakang. Sekuat dan setegar apapun
lelaki tersebut, perempuan selalu menjadi katalis kepemimpinan tersebut. Hal
ini mau menunjukkan sentralitas dan urgensitas peran kaum perempuan dalam
kehidupan. Lelaki tanpa perempuan adalah suatu kehampaan, ketika laki-laki
bersama perempuan, di situlah letak kepenuhan. Karena itu, seruan emansipasi
wanita yang dikumandangkan R. A. Kartini, tidaklah hanya menjadi sebuah sejarah
yang dikenang tetapi harus terus diperjuangkan hingga detik ini.
Ketika mencoba untuk menengok realitas dunia dewasa ini, kita
mendapati fakta bahwa marginalisasi perempuan belumlah selesai. Apa yang
terjadi pada zaman Kartini, terjadi juga pada zaman ini. Budaya yang menjadi
cirri khas tiap etnis terkadang menggiring orang pada marginalisasi kelompok
tertentu. Misalnya, budaya dalam budaya patriarkat, kaum perempuan ditempatkan
di bawah kaum laki-laki. Selain itu, pandangan yang menmorduakan kaum perempuan
masih kuat sehingga mendorong orang untuk melakukan kriminalisasi terhadap kaum
perempuan. Dari berbagai media komunikasi kita dapatkan dan saksikan bahwa ada
sekian banyak perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia. Perempuan
seolah menjadi komoditas yang diperdangangkan secara bebas.
Bertolak dari latar belakang budaya dan realitas ini, maka
kepemimpinan kaum perempuan saat ini masih dipandang sebelah mata oleh sebagian
pihak. Akan tetapi, di balik pandangan itu ditemukan juga wanita-wanita yang
sudah cukup berhasil dan berani membongkar kemapanan. Misalnya, seorang tokoh
perempuan yang saat ini menjadi rising
star dalam dunia perpolitikan Indonesia Tri Risma yang adalah Walikota
Surabaya. Beliau bekerja tanpa kenal lelah untuk memperjuangkan hak dan
kesejahteraan rakyatnya yang membuat banyak orang mapan yang merasa terancam
sehingga berusaha untuk menjatuhkannya. Akan tetapi, beliau tak gentar
sedikitpun. Ia selalu berdiri di garda terdepan demi kesejahteraan dan kebaikan
rakyatnya. Beliau tetap tegar berdiri bak seorang R. A. Kartini di masa lampau
yang tak gentar berjuang demi kebaikan kaumnya. Beliau menjadi Karini di zaman
ini yang patut diacungi jempol karena berhasil membongkar dan menembusi
kemapanan budaya patriarkat di negeri ini.
Peringatan hari lahir R. A. Kartini yang dirayakan setiap
tanggal 21 April hendaknya tidak hanya sebaas sebuah memoria wajib tahunan,
melainkan hendaknya membawa semangat baru bagi kaum perempuan untuk lebih
berani berjuang demi sebuah kesetaraan. Kaum perempuan zaman ini hendaknya
memanfaatkan ruang terbuka yang diciptakan dalam Negara demokrasi ini dengan
sebaik-baiknya, agar tidak lagi terjadi marginalisasi dan kriminalisasi. Dengan
keberanian yang ditunjukkan, kaum perempuan bisa memperoleh pengakuan yang
lebih dan bisa mendapat posisi yang setara dengan kaum laki-laki. Keberanian
kaum perempuan juga dengan sendirinya akan mempengaruhi setiap kebijakan yang
diambil dalam kehidupan bermasyarakat. Kaum perempuan hendaknya membukttikan
kepada dunia, bahwa apa perempuan juga mampu menjadi pemimpin. Karena itu tidaklah
salah, jika seorang perempuan menjadi pemimpin.
Berkaca pada R. A. Kartini masa lampau, hendaknya perempuan
zaman ini berusaha untuk menjadi Kartini masa ini. Janganlah gentar, karena
Kartini masa lampau yang begitu kuat dan tegar menghadapi penindasan kaumnya
pada masa itu, bisa muncul saat ini untuk berjuang menghadapi kondisi yang sama
di tengah lingkup budaya patriarkat. Jadilah Kartini-Kartini masa kini yang
cerdas, pandai, berani, teguh, dan kuat dalam menghadapi setiap tantangan zaman
ini. Beranikah Anda (kaum Perempuan) untuk menjadi Kartini baru di Zaman ini?
Beranikah Anda menjadi Kartini baru yang berani menggugat kemapanan budaya Anda
yang cenderung memarginalisasi dan menomorduakan kaum perempuan? Jika berani,
kapan lagi kalau bukan dari sekarang?
PERNAH DIMUAT DI :
1. TIMOR EXPRESS (21 APRIL 2016)
2. VICTORY NEWS (21 APRIL 2016)
Komentar