VOX POPULI VOX DEI

VOX POPULI VOX DEI
(Sebuah Catatan Lepas Menyongsong Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2017)
Oleh : Oceph Namang



Pemilihan umum Kepala Daerah serentak di beberapa wilayah Negara Republik Indonesia khususnya di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kota Kupang, Kabupaten Flores Timur, dan Kabupaten Lembata) tinggal hitungan hari. Setiap kandidat berlomba-lomba mencari simpati dan menggaet hati pemilih dengan berbagai teknik dan trik. Saling serang antara tim sukses di berbagai media komunikasi menjadi hal lumrah. Semua calon maju dengan jargon politiknya masing-masing. Di mana-mana ada saling klaim basis massa pendukung. Setiap rumah pemenangan mulai putar otak menyusun strategi untuk memenangkan jagoannya masing-masing. Hajatan Pemilukada telah di depan mata. Dalam hitungan hari, masyarakat akan menentukan pilihannya terhadap siapa yang dinilai pantas untuk menjadi pemimpinnya, yang sanggup memimpin dan membawa mereka keluar dari gurita kemiskinan yang menjerat mereka selama ini. Tanggal 15 Februari 2017 menjadi hari bersejarah dalam perjalanan sejarah demokrasi di Negara ini, di Provinsi Nusa tenggara Timur dan secara khusus Kota Kupang dan kedua kabupaten (Flores Timur dan Lembata) yang menyelenggarakan hajatan Pemilukada serentak kali ini. Pada moment ini masyarakat menentukan sendiri secara langsung siapa yang paling pantas menjadi pemimpin mereka. Dalam masa-masa kampenye, ada beribu janji manis yang ditebar di setiap setiap sudut kota dan desa demi memuluskan dan melicinkan jalan menuju kursi tertinggi di dalam tataran pimpinan daerah. Konsolidasi dan kunjungan ke tengah masyarakat di daerah-daerah terpencil menjadi semakin rutin dari sebelum-sebelumnya. Masyarakat yang selama ini tidak pernah dikunjungi akhirnya bisa dikunjungi juga demi menarik simpati. Sesulit apa pun letak topografis suatu daerah akhirnya bisa ditaklukkan supaya bisa bertemu langsung dengan masyarakat demi meraih simpati.
Meyimak realitas yang ada, dalam permenungan di setiap detak jarum jam didinding, selalu saja muncul pertanyaan-pertanyaan yang mengusik dan menggelitik kedalaman sanubari ketika menyaksikan dan mendengar kisah-kisah perjuangan untuk memperoleh simpati rakyat ini. Akankah setiap janji manis yang terumbar di setiap sudut kota dan desa bisa terealisasi? Ataukah hanya sekedar janji manis? Akankah frekuensi kunjungan ke daerah-daerah terpencil tetap terjadi dengan tingkat frekuensi yang sama dan menjadi prioritas ketika sudah terpilih nanti, ataukah sudah tidak tahu jalan ke daerah-daerah itu lagi karena telah menjadi “buta” mata dan hati serta “tuli” terhadap jeritan rakyat yang telah memilihnya? Apakah semua yang terjadi saat ini demi memperoleh simpati adalah sesuatu yang terjadi secara sadar dan dengan kesungguhan hati ataukah hanya sebagai sebuah sandiwara yang lagi dipertontonkan bagi masyarakat?
Mengapa pertanyaan-peranyaan semacam ini selalu mengusik dan menggelitik kedalaman hati setiap insan? Jika disandingkan dengan pangalaman nyata selama ini, akan sangat jelas menampakan bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam ini sangat wajar untuk muncul dan mengganggu kedalaman batin setiap individu pada saat-saat semacam ini. Fakta telah banyak berbicara dan berceritera bahwa janji-janji manis itu akan terus menjadi janji. Aktivitas untuk menarik simpati di saat-saat menjelang pemilu tidak beda dari sebuah sandiwara yang sedang dipertontonkan bagi masyarakat. Situasi didesain sedemikian rupa sehingga rakyat di buat terhanyut dalam situasi itu ibarat seorang sutradara yang mendesain drama, film atau sinetronnya sedemikian rupa sampai membuat semua penontonnya terhanyut dalam alur pikiran dan perasaan sutradara yang kadang bersifat imajinatif dan fiktif belaka.
Pada titik ini muncul pertanyaan, mengapa situasi semacam ini tidak akan berakhir di Negara kita? Hal ini bertolak dari paradigma politik yang dianut setiap pemimpin yakni “paradigma politik untuk kekuasaan”. Paradigma semacam inilah yang membuat banyak pemimpin rakyatnya. Di saat-saat menjelang pemilihan, paradigma berpolitik semacam ini akan memuluskan langkah dengan janji-janji nan manis, akan tetapi dalam dirinya tertanam kuat pandangan berpolitik untuk kekuasaan. Maka tak heran, ketika sudah menjadi pemimpin mereka lupa akan rakyatnya. Paradigma politik semacam ini harus segera digusur dan diganti dengan suatu paradigma politik yang berpihak pada rakyat yakni “politik untuk kesejahteraan rakyat”. Dengan paradigma politik semacam ini, kesejahteraan rakyat selalu menjadi prioritas dan bukannya kekuasaan. Dengan demikian, perwujudan sila kelima pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” bisa terealisasi dengan baik.
Dalam paradigma politik untuk kesejahteraan rakyat, semboyan suara rakyat suara Tuhan (vox populi vox Dei) benar-benar dijiwai oleh para politisi dan tidak lagi menonjolkan kekuasaannya. Para politisi hendaknya membangun suatu kesadaran dalam diri bahwa kekuasaan yang ada ditangannya adalah pinjaman dari rakyat karena itu bersifat sementara dan sesewaktu dapat diambil kembali apabila rakyat tidak lagi mempercayainya. Para politisi hendaknya tidak menjadi calon pemimpin yang sok merakyat menjelang pemilu, akan tetapi yang ada dalam pikiran bukanlah kesejahteraan rakyat melainkan trik bagaimana untuk terus menduduki kursi empuk itu, tetapi harus menjadi calon pemimpin yang benar-benar merakyat. Para politisi hendaknya  tidak mengikuti tayangan iklan furniture ‘kalau sudah duduk lupa berdiri’. Jika disandingkan dengan konteks pemilihan kepala daerah maka iklan ini bermakna ‘kalau sudah menjadi pemimpin lupa dengan rakyat yang memilih dan mempercayakannya’. Para politisi yang hendak mencalonkan diri menjadi pemimpin, apabila terpilih hendaknya tidak menjadi ‘buta’ dan ‘tuli’ terhadap jeritan dan aspirasi rakyat yang telah memilihnya. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Karena itu, rakyat dan para politisi tidak boleh bermain-main atau menganggap remeh suara itu. Karena ketika kita menganggap remeh dan bermain-main dengan suara rakyat maka secara tidak langsung juga kita menganggap remeh dan merendahkan suara Tuhan.
Rakyat sekarang bukanlah rakyat dahulu. Rakyat dahulu yang muda terbuai dan tergiur oleh janji-janji manis kini telah menjadi rakyat yang pintar dan kritis dalam membaca situasi. Karena itu, ketika salah melangkah maka dengan sendirinya kepercayaan itu akan hilang dan lenyap. Baju safari, kemeja lengan panjang berdasi maupun simbol-simbol lainnya seperti kendaraan dinas sudah tidak mampu lagi menambah rasa hormat rakyat pada para pemimpinnya. Rakyat sudah semakin menyadari bahwa selama ini mereka kadang bahkan selalu diberi impian kosong, janji muluk nan manis, serta diperalat pada saat pemilu hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan yang menyebabkan kehidupan rakyat tidak berubah, bahkan semakin dalam terjerumus ke jurang kemiskinan dan ketakberdayaan. Rakyat telah menjadi lebih pintar dan kritis karena mereka telah banyak belajar dari pengalaman. Rakyat telah lebih sadar bahwa tidak akan ada perubahan nasib jika mereka hanya menyandarkan nasibnya pada para politisi, pemimpin, dan penguasa negeri, karena dalam kenyataannya rakyat sendirilah yang mampu menolong dirinya sendiri. Rakyat telah menjadi kebal, muak, dan apatis terhadap pidato-pidato retoris yang berapi-api namun nihil dalam realisasi. Rakyat bukan seperti sekor keledai bodoh yang terantuk pada batu yang sama untuk kedua kali atau juga tercebur dalam lubang yang sama. Rakyat sudah tidak mau lagi dimanfaatkan sebagai batu loncatan atau pijakan para penguasa untuk memperoleh kekuasaan.
Berhadapan dengan masyarakat yang semakin pintar dan kritis dari waktu ke waktu, sudalah saatnya para politisi keluar dari ruang sidang ber-AC ke ruang sidang sebenarnya yakni di tengah-tengah kehidupan masyarakat kecil yang miskin dan terpencil. Akan tetapi, serentak pula sebuah pertanyaan pesimistis muncul menggugah hati; ‘beranikah para pemimpin yang terhormat bisa keluar dari kemegahan kantor dan melakukan “live-in” ke tengah masyarakat yang miskin dan terpencil demi mewujudkan kepedulian, pemberdayaan diri, dan mengasah kemampuan serta ketajaman nuraninya terhadap jeritan dan aspirasi rakyat? Karena hanya dengan cara seperti ini seorang pemimpin bisa mengetahui dari dekat dan merasakan apa yang sesungguhnya terjadi dan dialami oleh masyarakat yang diwakiliya.
Detik-detik menjelang pesta demokrasi ini, hendaknya digunakan secara sungguh-sungguh untuk melihat dan menilai secara baik figur mana yang harus diusung untuk mewakili rakyat. Para calon pemimpin dan tim pemenangan juga hendaknya memberikan pendidikan politik yang baik dan benar kepada masyarakat, dan jangan saling menyikut antara satu dengan yang lainnya. Biarkanlah rakyat memilih sesuai dengan bisikan nuraninya tanpa intervensi dari pihak manapun. Biarkan rakyatlah yang menilai figur-figur mana yang tepat dan mempunyai prospek yang cerah dan serius untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Sudah sangat cukup penderitaan yang dialami oleh rakyat karena itu tidak perlu ditambah.  Pemimpin hendaknya selalu dijiwai oleh semboyan “Vox Populi Vox Dei”.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELIS DALAM BUDAYA LAMAHOLOT

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA : LANDASAN PEMBENTUKAN KARAKTER

FILSAFAT BERKEBUN MASYARAKAT LAMAHOLOT DAN MANGGARAI