MENGAPA SELALU ADA MEREKA?

MENGAPA SELALU ADA MEREKA?
(Sebuah Catatan Kritis Ketika Peran Kaum Berjubah
dalam Perjuangan keadilan, kebenaran, dan Kemanusiaan dipertanyakan)
Oleh : Oceph Namang

*Penulis adalah Alumnus STFK Ledalero; Pengajar di SMA PGRI Lewoleba, tinggal di Kota Baru Barat, Lewoleba-Lembata

Mengapa selalu ada mereka? Pertanyaan sederhana ini, menghentakan batin setiap insane pencinta keadilan dan kebenaran ketika keterlibatan kaum berjubah dalam perjuangan keadilan dan kebenaran dipertanyakan. Tak menutup kemungkinan munculnya pandangan bahwa keterlibatan itu sebagai hal yang salah tempat. Berhadapan dengan pertanyaan dan pernyataan-pernyataan seperti ini, maka dibutuhkan secuil pencerahan, agar bisa menyadarkan setiap pribadi dan meminimalisir pertanyaan dan pernyataan-pernyataan semacam itu.
Menjadi seorang imam Tuhan berarti setiap orang harus siap untuk mengemban tri tugas Yesus sebagaimana yang ditegaskan dalam Kitab Suci yakni menjadi seorang imam, nabi dan raja.
Sebagai seorang imam, ia bertugas untuk menyucikan umat gembalaan yang dipercayakan kepadanya dengan merayakan Ekaristi kudus dan menguduskannya di altar Tuhan.
Sebagai seorang nabi, imam bertugas untuk mewartakan kerajaan surga kepada dunia. Peran kenabian imam ini dapat dieksplisitkan dalam pewartaan yang dilakukan di Mimbar maupun di tengah dunia. Dan yang menjadi tugas paling utama dari seorang nabi adalah melakukan seruan moral. Jika kita mendalami kitab suci maka kita akan menemukan dengan sangat jelas peran kenabian itu. Para nabi pada zaman dahulu (Perjanjian Lama) diutus untuk melakukan seruan moral bagi pertobatan dunia dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya. Misalnya nabi Yeremia diutus ke tengah-tengah bangsa Israel untuk mengumandangkan seruan moral bagi pertobatan bangsa Israel. Allah melihat bahwa bangsa Israel di ambang kehancuran, maka Ia mengutus Nabi Yeremia untuk menyerukan pertobatan bagi mereka.
Sebagai seorang raja, imam bertugas untuk memimpin dan membimbing umatnya untuk selalu hidup pada jalan yang benar sesuai dengan ajaran Tuhan.
Peran para Nabi Perjanjian Lama ini kemudian disempurnakan oleh Yesus sendiri dalam Perjanjian Baru. Kristus sendiri bahkan rela mengorbankan nyawa-Nya untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa.
Bertolak dari fungsi tri tugas Yesus ini, hemat saya adalah suatu keanehan jika kita mempertanyakan keterlibatan imam dalam perjuangan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Hanya orang yang kekurangan pemahaman saja yang bisa mempertanyakan keterlibatan kaum berjubah dalam perjuangan kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan di tengah masyarakat. Sebagai orang beriman, seharusnya kita menunjukkan sikap respek yang tinggi terhadap perjuangan kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan itu, bukannya mempertanyakan peran dan keterlibatan kaum berjubah dalam perjuangan kemanusiaan itu. Sebagaimana para nabi perjanjian lama yang diutus untuk mengumandangkan seruan pertobatan bagi dunia, dan Yohanes Pembaptis diutus untuk menyerukan pertobatan untuk mempersiapkan jalan bagi Tuhan, demikian pula para imam diutus untuk memaklumkan seruan pertobatan dalam dunia dewasa ini.
Ketika situasi dunia lagi terombang ambing pada suatu arah yang tidak tentu akibat berbagai ketimpangan yang terjadi, maka pantas dan layak jika kaum berjubah merasa terpanggil untuk memaklumkan seruan pertobatan bagi dunia. Keterlibatan kaum berjubah dalam berbagai aksi kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran di tengah masyarakat adalah suatu hal yang patut dibanggakan dan diberi apresiasi yang tinggi. Mengapa? Karena mereka sungguh menjalankan peran kenabiannya yakni pandai membaca tanda-tanda zaman. Kepekaan dalam membaca tanda-tanda zaman membuat mereka tanggap terhadap situasi keterpurukan yang tengah dialami oleh rakyat yang juga adalah umat gembalaannya. Ibarat seorang pengembala yang merasa tidak nyaman ketika kawanan gembalaannya diganggu, atau merasa iba ketika kawanan gembalaannya tidak mendapat makanan, demikian pun para gembala kita akan merasa kurang nyaman dan iba ketika rakyat yang adalah umat gembalaannya ditindas dan hidup sengsara akibat berbagai ketimpangan sosial. Situasi keterpurukan masyarakat akibat kesewenang-wenangan penguasa negeri membuat mereka (kaum berjubah,red) merasa terpanggil untuk melakukan seruan moral demi mencapai suatu pertobatan.
Berhadapan dengan situasi konkret dalam kehidupan masyarakat yang serba tak menentu karena berbagai praktek ketidakadilan, kaum berjubah yang adalah tokoh umat harus turut menjadi promotor dalam memperjuangkan nasib umatnya. Hal ini berarti bahwa, kaum berjubah harus berpolitik perikemanusiaan. Kaum berjubah tidak bisa menjadi orang-orang yang apolitis. Mereka tidak boleh bersikap acuh tak acuh atau bahkan diam dalam kemegahan biara atau pastoran tetapi harus terjun ke tengah situasi dan kondisi masyarakat sekitarnya untuk bergabung dengan masyarakat dan memperjuangkan nasib umat gembalaannya (bdk. Yohanes Don Bosco Bhodo: Imam dan Politik). Kecintanya kepada Tuhan hendaknya direalisasikan dengan terlibat dalam protes dan tindakan untuk merombak tatanan masyarakat menjadi lebih adil, di mana nilai-nilai persaudaran dan kemanusiaan sungguh dihargai. Y. B. Mangunwijaya sebagai seorang tokoh yang merasa terpanggil untuk terlibat dalam perjuangan kemanusiaan pernah menandaskan bahwa dengan berpihak pada kemanusiaan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, otomatis mereka (kaum berjubah, red) memuliakan Allah. Atau dengan kata lain, dengan memuliakan manusia mereka (kaum berjubah) juga memuliakan Allah.
Karena itu, adalah sebuah kesalahan besar ketika orang mempertanyakan aksi dan keterlibatan kaum berjubah dalam perjuangan kemanusiaan di tengah masyarakat. Menyimak realitas dunia dewasa ini, maka keterlibatan kaum berjubah dalam perjuangan kemanusiaan adalah suatu keharusan. Ketika perasaan sebagian besar individu sudah tumpul, sang nabi (kaum berjubah: red) tampil untuk mengasah kembali ketumpulan perasaan itu. Dengan demikian, ketajaman perasaan manusia semakin diolah dan diasa menjadi lebih tajam sera lebih peka terhadap jeritan sesame. Dengan demikian manusia akan lebih saling menghargai satu dengan yang lainnya. Praktek nyata dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu bukti realisasi apa yang digariskan oleh Kitab Suci yang dikumandangkan di mimbar sabda. Hendaknya sabda yang dikumandangkan dengan lantang dari mimbar direalisasikan dalam kehidupan nyata. Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati, demikian kata Santo Yakobus (Bdk. Yak. 2: 14-26). Demikian pula, sabda tanpa realisasi nyata adalah mati. Masyarakat lebih membutuhkan praktek nyata dari pada petuah-petuah ilimiah tanpa praktek. Masyarakat telah lelah dengan doktrin-doktrin ilimiah, sebaliknya menantikan praktek nyata.

Oleh karena itu, keterlibatan kaum berjubah dalam perjuangan kemanusiaan perlu diacungkan jempol dan diberi kredit lebih. Sudah saatnya mereka harus turun ke jalan-jalan seperti para nabi pada zaman dahulu untuk menyerukan pertobatan bagi umatnya yang makin terpuruk dari waku ke waktu. Situasi dan kondisi sehari-hari menuntut keterlibatan nyata kaum berjubah untuk merealisasikan tri tugas Yesus itu dalam kehidupan sehari-hari. Kalau bukan sekarang, harus sampai kapan? Pepatah klasik “never put until tomorrow what you can do today (jangan menunda sampai besok apa yang dapat dikerjakan hari ini)” hendaknya senantiasa menjiwai para gembala untuk terus bersuara demi umat gembalaannya. Mereka (kaum berjubah, red) menyuarakan suara kaum yang tak bersuara (voice of voiceless) untuk menuntut penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak mereka (rakyat,red). Dan hendaknya pertaanyaan dan pernyataan “mengapa selalu ada mereka?” tidak lagi mencuat dari para gembalaan, karena para gembalaan semakin sadar dan semakin memahami tugas dari gembalanya.


Tulisan ini dipublikasikan dalam kolom Opini harian Folres Pos 13 Juni 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELIS DALAM BUDAYA LAMAHOLOT

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA : LANDASAN PEMBENTUKAN KARAKTER

CURICULUM VITAE