UN: ANTARA HAJATAN TAHUNAN DAN AJANG UNTUNG MENGUJI KUALITAS SDM
UN:
ANTARA HAJATAN TAHUNAN DAN
AJANG
UNTUNG MENGUJI KUALITAS SDM
Oleh : Oceph Namang
*Penulis adalah Alumnus STFK Ledalero, Tinggal di Lewoleba- Lembata - NTT
Ujian
nasional merupakan suatu hajatan wajib yang selalu terjadi setiap tahunnya yang
merupakan akhir dari suatu proses pembelajaran yang terjadi di sebuah lembaga
pendidikan semisal SD, SMP, dan SMA/SMK atau sederajat. Hajatan ini menurut
beberapa pihak merupakan cara terampuh untuk mengukur kemampuan belajar setiap
siswa selama suatu jangka waktu tertentu. Akan tetapi, sebagian besar warga
tidak sependapat dengan pandangan ini. Maka tak heran muncul pertanyaan, apakah
UN merupakan satu-satunya cara untuk mengukur kemampuan siswa atau mengukur
kemampuan SDM siswa? Padahal dalam kenyataannya ada begitu banyak kegiatan lain
yang juga dapat membantu untuk mengukur kemampuan siswa. Akan tetapi, dalam
prakteknya hanya UN yang dijadikan sebagai standar utama dan satu-satunya cara
untuk mengukur kualitas SDM siswa.
Jika
dicermati secara teliti dan mendalam, hajatan UN yang berlangsung setiap tahun
bukanlah cara terampuh untuk mengukur kualitas siswa. Mengapa demikian? Karena
bisa saja orang yang sama sekali tidak mampu bisa saja lulus dengan nilai yang
sangat memuaskan, sedangkan orang yang dianggap mampu mendapat hasil yang tidak
memuaskan. Hal ini terjadi karena factor kebetulan. Mengapa dikatakan
kebetulan? Pendasarannya adalah bagaimana mungkin siswa diuji oleh pihak yang
sebenarnya tidak mengetahui secara mendalam kemampuan para siswa? Karena bahan
yang diujikan kadang disusun berdasarkan standar sekolah-sekolah maju yang ada
di daerah perkotaan. Lantas, bagaimana dengan sekolah-sekolah di pedesaan?
Apakah mereka harus secara terpaksa mengikuti irama sekolah- sekolah di wilayah
perkotaan? Sementara sarana dan pra sarana yang dimiliki sekolah-sekolah di
perdesaan ada di bawah standar? Ide-ide semacam inilah yang melahirkan berbagai
pandangan pro dan kontra terhadap penyelenggaraan UN.
Menurut
para pengkritik UN, bobot UN cuma 60%. Akan tetapi, di lapangan bobot itu
menjadi 100% jika tidak terjadi penipuan dan penyelewengan lainnya. Akan
tetapi, fakta berbicara lain. Berbagai penyelewengan nilai ujian sekolah dan
bongkar pasang rapor marak terjadi di mana-mana. Banyak pembuat kebijakan over percaya diri bahwa kebijakan yang
dibuat akan ditaati 100%. Namun yang terjadi adalah kebijakan itu dilawan
secara halus dengan berbagai penyiasatan. Perlawanannya terjadi dengan sistem
perang gerilya sehingga melahirkan kesan umum bahwa stakeholders pendidikan Indonesia amat sopan.
Jika
UN adalah standar yang dipakai dan dimaksudkan untuk memetakan kinerja
pendidikan, mengapa harus setiap tahun? Mengapa bahannya harus disusun dari
pusat dan bukan oleh sekolah penyelenggara? Padahal yang paling mengetahui
kualitas dan kemampuan siswa adalah sekolah penyelenggara. Jika bangsa ini
ingin menemukan generasi yang berkualitas alangkah baiknya jika UN diserahkan
kewenangan penyelenggaraannya kepada sekolah asal. Karena jika tetap
diselenggarakan oleh Kemendikbud maka jelas akan tetap terjadi penyelewengan
dan penyimpangan. Generasi berkualitas pun tak akan ditemukan.
Fakta
menggambarkan dengan jelas bahwa ada begitu banyak pihak yang meragukan
kualitas dan validitas hasil UN. Menurut mereka hasil itu didominasi oleh
manipulasi. Untuk memperoleh hasil itu telah dilakukan berbagai manipulasi dan
penyiasatan. Karena itu tidaklah mengherankan banyak universitas yang menolak
UN sebagai instrumen seleksi masuk perguruan tinggi karena validitasnya
diragukan.
Bertolak
dari berbagai pandangan pro dan kontra tentang penyelenggaraan UN dan berbagai
keraguan tentang validitas UN, muncul pertanyaan apakah ada kemungkinan
kewenangan penyelenggaraan UN itu diberikan kepada sekolah-sekolah? Pertanyaan
ini muncul bertolak dari kesadaran bahwa pihak sekolah-lah yang paling
mengetahui kemapuan siswa. Karena itu, bahan yang diuji juga tidak menyimpang
jauh dari bahan yang diajarkan kepada siswa. Ketika penyelenggaraan UN itu
diberikan kepada sekolah, maka jelas bahwa kemampuan siswa benar-benar teruji
dan kita dapat mengetahui secara pasti kualitas siswa. Validitas UN juga bisa
lebih terjamin. Mendukung UN dengan sistem saat ini atau menghendaki UN dengan
sistem baru yakni diselenggarakan oleh sekolah asal? Salam ……
Komentar