SAY NO TO VIOLENCE
SAY
NO TO VIOLENCE
(Oleh : Oceph Namang)
*Penulis adalah Alumnus
STFK Ledalero; Pemerhati Sosial & Budaya tinggal
di Kota Baru Barat, Lewoleb-Lembata
Kekerasan
bukan lagi merupakan sebuah angan akan tetapi menjadi suatu realitas yang
menjamur di seluruh pelosok dunia. Kekerasan sudah menjadi problem universal
yang membutuhkan perhatian serius. Situasi dunia dewasa ini menunjukkan bahwa
kekerasan menjadi senjata utama dalam memperjuangkan sesuatu atau pun sebagai
sarana untuk mencapai tujuan. Situasi ini serentak menghasilkan begitu banyak
korban. Korban itu pada umumnya berasal dari kaum kecil dan yang tak berdaya.
Situasi ini pada umumnya terjadi dalam lingkaran dunia politik. Demi suatu
tujuan politik yang diidamkan, orang tidak segan-segan mengorbankan sesamanya
untuk dijadikan sebagai batu loncatan demi mencapai tujuan itu. Sistem politik
yang dipatenkan dalam undang-undang pun kadang mengobjekkan dan mengorbankan
kalangan tertentu.
Violence
: Realitas yang menjamur
Sebagai
problem universal, kekerasan/violence ibarat jamur yang bermunculan di setiap
sudut jagad ini. Simak saja di berbagai media sosial dan informasi, kasus
kekerasan terus terjadi. Misalnya serangan Israel ke Gaza yang menelan begitu
banyak nyawa tak bersalah, dan beberapa tindakan anarkis lainnya. Indonesia
sebagai sebuah negara pun tak luput dari praktek ini. Sebagai sebuah negara
dengan sisitem politiknya sendiri, tak jarang pula terjadi berbagai kekerasan,
baik itu berupa kekerasan struktural maupun kekerasan individual. Fakta
menunjukan bahwa praktek politik di Indonesia dewasa ini sering bahkan selalu
saja diwarnai oleh kekerasan. Ada begitu banyak praktek kekerasan yang terjadi di
Indonesia. Misalnya, kasus Mbok Priok (Tragedi Koja) merupakan salah satu fakta
kekerasan yang terstruktur secara rapih. Demi kepentingan segelintir orang,
banyak nyawa harus menjadi korban. Kebrutalan mereka yang menamakan diri
pengayom dan penjaga rakyat menjadi pemicu kekerasan ini. Selain itu, praktik
kekerasan bukan saja berupa kekerasan berwujud seperti ini, tetapi juga terjadi
dalam ide-ide dan praktik politik yang dijalankan para penguasa. Misalnya,
korupsi, kolusi, nepotisme, dan beberapa kasus lainnya.
Sejarah
Indonesia merekam dengan jujur kisah keterjungkalan negara pada simbol
kebengisan, kekerasan, kekasaran, dan haus darah. Dalam situsai semacam ini
negara mengerucut pada bentuk negara yang disebut “Negara Preman” yang dibangun di atas pidato kekerasan, logika
kebrutalan, solusi patung, senjata, bom, dan penggeledahan.(Max Regus: Menembus
Era Kemurungan; Kisah sebuah Negeri dengan Amnesia Kronis). Situasi demikian
memandang kebebasan sebagai ancaman sehingga diperlakukan secara brutal.
Bertolak dari pandangan yang demikian, negara menjadi lahan peternakan tukang
pukul kekuasaan yang malang melintang dengan record kekerasan mengerikan.
Ketika struktur politik dan kekuasaan dikuasai oleh kekerasan, Indonesia
menghadirkan diri sebagai “tanah
kekerasan” (Max Regus, Menembus Era
Kemurungan). Pada titik ini, satu pertanyaan mendasar menggugah kedalaman
batin kita; apakah masih ada cara lain yang lebih baik dan bermartabat untuk
mengatasi dan menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi di Indonesia selain
dengan cara kekerasan?
Bertitik
tolak dari pertanyaan mendasar ini, paham politik nir-kekerasan atau tanpa
kekerasan (non violence/Ahimsa) yang dipopulerkan dan digunakan
oleh Mahatma Gadhi dalam perjuangannya merebut kemerdekaan India dari bangsa
penjajah menjadi jawaban paling ampuh untuk menyelesaikan berbagai persoalan
yang terjadi di Negara Indonesia. Mahatma Gandhi, tokoh sentral perjuangan kemerdekaan
India memberikan teladan agung kepada kita. Perjuangan yang dilakukannya dengan
tanpa kekerasan hendaknya menjadi model perjuangan kita juga. Perjuangan tanpa
kekerasan adalah jalan yang mutlak untuk menciptakan perdamaian dunia.
Non-violence
: Jawaban atas realitas kekerasan yang menjamur
Mata dibalas dengan mata,
gigi ganti gigi, hanya membuat seluruh dunia menjadi buta. Pernyataan bermakna
dari Gandhi ini secara tidak langsung menggugah kedalaman batin setiap pribadi
untuk merubah paradigma berpikir yang selalu dibayangi dengan kekerasan.
Filsafat “tanpa kekerasan” yang didengungkan Gandhi, merupakan kekuatan dan
spirit perjuangan bagi setiap pejuang kemanusiaan. Perjuangan tanpa kekerasan
bukanlah mutlak tindakan kaum lemah dan tak berdaya dalam masyarakat melainkan
paham itu sendiri memiliki kekuatan moralitas yang cukup tinggi. Kekuatan
moralitas “tanpa kekerasan” seperti ini merupakan kekuatan spirit yang paling
tak mampu dihadapi oleh sistem ketidakadilan kolonialis otoriter.
Konsep
non violence Gandhi pada dasarnya
bernafaskan religiositas yang sangat tinggi di samping bernuansa etis politis.
Hal ini bertolak dari latar belakang keluarganya yang saleh dan taat pada
agama. Dalam konsepnya tentang non
violence Gandhi menekankan pentingnya saling mencintai sebagai saudara,
bahkan non violence yang sejati
adalah mencintai orang yang membenci kita. Memang hal ini sangatlah sulit untuk
diwujudkan dengan baik. Namun Gandhi berkeyakinan bahwa atas bantuan Allah apa
yang sulit ini dapat menjadi mudah. Apa yang tidak mungkin bagi manusia itu
menjadi mungkin bagi Allah. Paham non
violence atau nir-kekerasan merupakan salah satu kekuatan paling ampuh yang
tersedia bagi manusia. Keampuhan paham ini telah dibuktikan oleh Gandhi dengan
memperoleh kemerdekaan India dari penjajahan Inggris. Dengan paham non violence atau nir-kekerasan, ia
sanggup memukul mundur penjajah Inggris yang menduduki India dengan segala
kecanggihan teknologi dan senjatanya. Kenyataan ini memperjelas bahwa paham ini
lebih hebat dari pada berbagai senjata penghancur yang diciptakan oleh manusia.
Konsep
non violence yang dipopulerkan Gandhi
memiliki beberapa syarat utama. Syarat pertama dan utama bagi paham non violence atau nir-kekerasan adalah keadilan yang menyeluruh di setiap bidang
kehidupan.(R. Wahana Wegig; Dimensi Etis Ajaran Gandhi, Yogyakarta:
Kanisius 1986 hlm. 99). Mungkin saja ini merupakan syarat yang paling berat
bagi manusia. Apalagi bagi kita yang hidup di zaman serba modern ini di mana
seluruh aspek kehidupan telah dirasuki dengan berbagai praktek ketidakadilan
bahkan berakar dan bertumbuh subur dalam hidup kita. Sebagaimana kita belajar
untuk melakukan pembunuhan dan tindakan kekerasan, demikian pula kita harus
berusaha untuk belajar bagaimana melaksanakan tindakan pantang kekerasan itu.
Asas dari paham pantang kekerasan atau non
violence itu sendiri adalah tidak ada alasan untuk takut. Syarat kedua bagi
paham non violence adalah pengorbanan diri. Pengorbanan diri
dalam konteks non violence lebih
diartikan sebagai suatu usaha untuk menyadarkan orang lain, misalnya, penjahat
atau pun musuh dengan memberikan suatu argument persuasif ataupun ajakan yan
bisa membuat penjahat atau musuh itu sadar dan berbalik pada jalan yang benar.
Di sini, Gandhi mengajarkan kepada dunia untuk tidak hanya mencintai orang yang
mencintai kita tetapi juga mencintai orang yang membenci kita atau musuh kita.
Ajaran untuk mengasihi musuh ini jauh sebelumnya juga telah dikumandangkan oleh
Yesus (Lukas 6: 27-36).
Syarat
ketiga adalah pengendalian hawa nafsu.
Hal yang paling penting dalam aspek ini adalah bagaimana mengendalikan setiap
perasaan yang muncul dalam diri dan berusaha untuk mengatasinya agar tidak
sampai menimbulkan tindak kekerasan. Ketika setiap insan sanggup mengendalikan
hawa nafsunya maka, praktek kekerasan akan semakin minim.
Say
no to violence
Kekerasan
tampaknya menjadi senjata utama dalam penyelesaian suatu konflik, baik secara
individu ataupun kelompok, etnis, ras, dan agama. Kekerasan sepertinya menjadi
senjata tunggal yang paling ampuh untuk menghadapi berbagai problem, seolah
tidak ada lagi jalan lain. Simak saja situasi saat ini baik dalam konteks dunia
pada umumnya dan konteks Indonesia pada khususnya. Ketika berhadapan dengan
suatu kebijakan atau langkah dari parah pemegang ampuk pemerintahan yang dirasa
kurang sesuai orang selalu saja mengandalkan kekerasan untuk melawannya.
Padahal dengan sikap tanpa kekerasan pun hal ini bias teratasi dengan baik.
Situasi
kekerasan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dewasa ini sering tidak
disadari karena berlangsung dalam mekanisme yang kompleks dan tidak menyebabkan
dampak secara langsung. Kekerasan tidak hanya berbentuk pemukulan, pemerkosaan,
penganiayaan, dan pembunuhan, tetapi juga menyangkut aspek-aspek yang lebih
luas. Kekerasan terjadi ketika pengekangan aktualisasi diri masyarakat
dijalankan. Atau menurut Johan Galtung, kekerasan terjadi bila manusia
dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya
lebih rendah daripada realisasi jasmani dan mental potensialnya sehingga
kualitas manusia dirugikan. Kekerasan merambah hampir semua aspek kehidupan
masyarakat.
Berhadapan
dengan fakta semacam ini, kita kembali bertanya apakah tidak ada jalan lain
untuk menyelesaikan suatu problem selain dengan jalan kekerasan? Ketika mencoba
menggeluti pemikiran Gandhi kita akan menjawab bahwa ada jalan lain untuk
mengatasi masalah-masalah itu. Jalan itu adalah dengan perjuangan yang nir-kekerasan
atau non violence. Dalam perjuangan
yang berasaskan nir-kekerasan, kita melihat sesama kita sebagai saudara yang
perlu dihargai dan dihormati sebagai pribadi yang utuh. Dengan pandangan
semacam ini setiap pribadi akan sanggup menyingkirkan kekerasan dari dalam
pikiran dan praktek hidupnya.
Paradigma
berpikir subjek-objek, perlu disingkirkan dengan mengedepankan pola
subjek-subjek. Paradigma subjek-subjek atau relasi intersubjektif yang
dikedepankan filsuf Prancis Gabriel Marcel sepertinya sejalan dengan politik non-violence ala Gandhi jika kedua paham
ini disandingkan. Karena dengan pola relasi subjek-subjek, setiap individu akan
memandang sesamanya sebagai subjek sama seperti dirinya yang harus dihargai.
Dengan demikian, praktek kekerasan yang cenderung mengobjekan pihak lain bisa
diminimalisir.
Ibarat
Gandhi yang berseru saat itu untuk memperjuangkan kemerdekaan India dengan
mengkampanyekan konsep nir-kekerasan, kita pun harus bersuara melanjutkan
perjuangan untuk mengkampanyekan perjuangan yang nir-kekerasan itu agar dapat
terciptalah suatu masyarakat dan Negara yang aman, damai, dan tenteram baik
secara lahir maupun batin. Relasi intersubjektif yang dikumandangkan Gabriel Marcel
juga perlu terus kita lantumkan dalam kehidupan masyarakat dan Negara kita yang
tercinta ini demi terciptanya masyarakat dan Negara yang damai, aman, tenteram,
adil, dan berprikemanusiaan. Oleh karena itu, marilah kita bergandengan tangan
satu sama lain sembari bertekad untuk mengatakan tidak pada kekerasan. Mari,
kita bersama berpayung di bawah semboyan; “Say No to Violence”.
Komentar